Aku ingin tampil apa adanya menjadi diriku sendiri! Tidak harus berjubah, bergamis ataupun memakai rok dengan bermacam gaya seperti zaman modern seperti ini. Aku ingin tampil santai dan rileks dengan celana jeans kombor, kaos blus panjang, hijab paris tanpa model dan sepatu ketz. Aku rasa itulah diriku, dengan kostum itu aku merasa nyaman.
Aku
memang wanita setengah tomboy! Meskipun Ibu dan Ayahku selalu menekukkan wajah
cerianya ketika aku tidak memakai rok. “Kamu ini perempuan nduk! Jangan menyalahi kodrat kamu sebagai seorang perempuan,
Ayahmu nanti bisa marah besar kalau tau kamu disana memakai celana! Apa mau,
kuliahmu dicabut lalu diungsikan di pondok pesantren?”
Perkataan
Ibuku benar-benar membuat bulu kuduku berdiri! Ya, mungkin saja aku trauma
dengan tempat itu! Atau mungkin saja hatiku belum terbuka untuk menempati
tempat itu lagi, penjara suci! Kami selalu menyebutnya dengan penjara suci!
Tempat yang selalu mengekang tanpa ada toleransi untuk carut marut masalah
duniawi.tiga tahun aku di sana, tidak boleh keluar selain sekolah dan madrasah.
Selain itu peraturannya super duper ketat! Tidak boleh bawa hp, tidak boleh
pulang kecuali hari besar yang memang bertepatan dengan liburan sekolah dan
madrasah. Seperti ramadhan. Itu pun 2 minggu mendekati lebaran baru diberi izin
pulang.
Disana
benar-benar terjaga. Apalagi pacaran, melirik cowok saja benar-benar tidak
berani karena takut dengan dosa! Zina ain. Kegiatannya belajar, belajar dan
belajar. Tidak ada waktu bersenang-senang kecuali sehabis roan malam ketika
mendekati liburan, usai roan kita makan malam bersama di kedai ma’had. Itupun
hanya makan mie rebus, karena memang itu yang ada. Usai itu kita menikmati
malam dengan melantunkan shalawatan di lantai 5. Disana suasana kota Santri
benar-benar menajubkan. Lentera yang kelap kelip, kendaraan yang lewat dan
bintang gemintang yang masih setia menemani malam. Apalagi kalau hari menjelang
pagi atau sore hari. Di timur terlihat gunung Kajar, di selatan ada Laut
Bonang, di utara terdapat gedung-gedung yang berrelief khas jogja, di barat ada
PLTU dengan kedipan lampunya dan bangunannya menyerupai tugu monas. Indah benar
kota ini memang.
Kami
cukup menikmati waktu dengan kebersamaan yang bernuansa Islami. Meskipun
demikian, aku dikenal santri yang bandel. Suka pergi ke taman tidak izin dengan
pengasuh, kadangkala lupa nggak ngaji karena tidur. Aku sering kena ta’ziran
akibat ulahku yang tidak taat kepada peraturan ma’had. Dan diam-diam aku juga
punya pacar. Meskipun jarak memisahkan kita. Dia ada di tanah sebrang. Cintaku
jauh di pulau, kata Chairil Anwar dalam puisinya. Bagaimana bisa dikatakan
pacar? Hubungan lewat kontak telepon saja tidak bisa.
Aku
seperti manusia biasa yang dianugrahi cinta ketika usiaku mulai remaja. Aku
bertemu dengannya di kampung Tanjung Sari. Kami sama-sama jatuh cinta pada
pandangan pertama, semenjak itulah dia mulai mencariku dan menghubungiku. Lalu
kami merasa ada kecocokan dan sepakat untuk menjalin hubungan asmara.
Sebenarnya bukan pertama kalinya aku jatuh cinta dan menjalin hubungan asmara.
Tapi inilah yang layak aku namakan cinta karena dahulu kala hanya aku jadikan
status belaka.
Aku
pacaran dengannya, namanya Ariz! Satu tahun sekali kita bisa ketemu ketika hari
lebaran. Itupun hanya bisa melihatnya tanpa duduk berdua dan lain sebagianya.
Aku masih malu-malu untuk sekedar menatap wajahnya. Itulah pacaran menurutku.
Aku dan dia berbeda, tapi akhirnya dia mengikuti gayaku untuk menjalin hubungan
asmara. Pacaran Islami. Ya itulah caraku! Untuk menjaga akidah akhlaqku.
Sebagai
musafir ilmu sudah sepantasnya aku tawadu’ terhadap guru-guruku dan semua
ustad-ustadku di ma’had. Usai ngaji kitab ta’limul
muta’alim, Sumpah itu diikrarkan, “Barang siapa yang punya pacar ketika
masih menjadi santri pondok pesantren Nailun Najjah, saya doakan ilmunya tidak
barokah.” Ucap gus Ahfa mengakhiri kajian kitabnya. Seketika darahku berdesir,
aku terdiam dengan wajah kaku. “Mungkin harus aku akhiri saat ini juga!”
Pikirku.
Keesokan
harinya aku datang ke wartel. Berusaha memberi kabar tentang hal ini dan
memutuskan hubungan cinta diantara kami dengan bijaksana. “Salamualaikum, mas
Ariz, ini aku. Nihaya.” Kataku setengah parau karena menahan sesuatu yang akan
keluar dari mataku. “Waalaikumsalam, tumben sekali. Ada apa?” Tanya dia
sumringah dalam suaranya. Aku menjelaskan panjang lebar kepada Ariz. Sejenak
terdiam, dan tak ada jawaban darinya tiba-tiba saluran telepon diputuskan.
Setelah aku coba untuk berulang kali menelponnya tapi tidak ada jawaban.
Ya,
itulah kisah cintaku di ma’had Nailun Najjah. Beban itu semakin bertambah saat
aku terpilih menjadi pengurus ma’had. Aku menjadi seksi pendidikan yang
bertugas mengkoordinir mading, membuat surat izin sekolah atau madrasah ketika
ada santri yang sakit, membeli kitab-kitab yang dibutuhkan oleh santri, melobi
dewan asatid untuk mengkaji kita-kitab ketika bulan ramadhan, mengatur jadwal
belajar para santri, membunyikan bel kala kegiatan kependidikan akan dimulai,
mengawasi santri yang suka bolos madrasah kemudian mena’zirnya sesuai kebijakan
pengurus dan lain-lain. Bukan tugas itu yang aku rasa berat. Tapi sumpah janji
pengurus yang diikrarkan ketika masa pelantikan. Seorang pengurus harus jadi
uswatun hasanah bagi para santrinya. Itulah yang aku rasa berat. Aku tidak
boleh lagi menjadi santri yang bandel. Harus selalu taat kepada peraturan. Dan
jabatan itulah yang bisa mendekatkanku kepada pengasuhku, Umi Fatimah. Meskipun
jabatan pengurus dibenci para santri karena memang sudah menjadi tugas seorang
pengurus ma’had untuk menjadikan suasana ma’had damai dengan kedisiplinan
santri. Aku juga bingung mengapa aku terpilih menjadi pengurus ma’had. Antara
rasa bangga dan beban yang berat.
Seiring
berjalannya waktu, Umi Fatimah semakin sayang kepadaku karena aku menjadi
santri yang rajin. Aku juga sering diutus mendampingi umi ketika berpergian. Bahkan
umi Fatimah pernah berkeinginan untuk menjodohkanku dengan gus Ihsan,
kemenakannya. Tapi setelah masa akhirusanah itu, gus Ihsan dan aku terpisah
jauh. Niat suci tak lagi menjadi kenyataan yang aku harapkan. Dia meneruskan
studinya di Kairo Mesir, sementara aku hanya melanjutkan kuliah di Semarang.
Aku
akan kuliah, waktu yang dua tahun lamanya aku nanti-nanti kini tibalah saatnya.
Aku kuliah dengan merubah semua modelku. Dulu aku santri yang tidak terlepas
dari gamis ataupun sarung dengan atasan busana muslim panjang, dengan hijab
paris besar tanpa model. Aku mulai malu untuk mengenakn busana demikian dalam
dunia kampus. Diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua, aku membeli beberapa
potong celana jeans. Mana mungkin Ibuku membelikanku celana, yang ada selalu gamis
yang dihadiahkan untukku saben minggu. Aku menerimanya dengan senyuman untuk
menyenangkan hati Ibuku.
“Nihaya
suka? Warnanya ungu muda, cantik untuk kulitmu.” Kata Ibuku dengan senyum
bahagia dari bibirnya. “Iya, Bu. Bagus sekali. Aku suka.” Balasku, agar
menyenangkan hati Ibuku, aku langsung memakainya usai mandi. Tapi aku tak
pernah memakainya di Semarang. Aku pernah memakainya sekali, eh teman-teman
menertawakanku. Katanya aku seperti ibu-ibu. Jadi aku kumpulkan saja gamis itu
dalam lemariku. Hitung-hitung untuk koleksi.
Tampaknya,
kali ini Ibuku tak lagi membelikanku gamis melainkan rok panjang dengan baju
seleraku. Aku senang tapi aku rasa terlalu ribet untuk memakainya. Aku ambil
saja bajunya dan roknya aku jadikan koleksi di lemari. Aku tetap menerimanya
dengan senyuman untuk membuat hati Ibuku lega. Dan pada akhir semester dua aku
berani pulang dengan pakaianku ala kadarnya. Dan sambutan mereka seakan kecewa
denganku. Berulangkali Ibu menasehatiku tentang layaknya seorang wanita. Dari
segi pakaian dan kewajiban tapi aku hanya mengiyakan saja.
“Kamu
tidak mau kan nduk, kalau Ibu dan
Ayahmu malu? Ingat nduk, Ayahmu itu
publik figur di kampung ini. Jangan sampai kamu mencoreng nama beliau.” Katanya
yang membuatku iba.
“Ya,
tapi kan ini sudah biasa Buk? Ini Nihaya yang sebenarnya. Aku tidak suka dengan
batasan karena identitas sosial. Lagi pula, usai ini aku akan tinggal di
Semarang.” Ucapku yang ternyata membuat air mata Ibuku meleleh.
Aku
semakin merasa bersalah. Terkadang aku merasa terkekang, tidak bisa menjadi
siapa Nihaya yang sebenarnya. Harus taat kepada aturan identitas sosial. Hanya
karena celana jeans kombor semua masyarakat kisruh membicarakanku. Kalau bukan
karena orang tuaku tak peduli lah aku apa kata mereka. Sebelum orangtuaku melemparku
ke penjara suci untuk yang ketiga kalinya cepat-cepat aku mengambil hatinya
seraya berjanji akan selalu taat pada peraturan awal. Memakai pakaian wanita
yang benar. Pakai rok.
Ya,
inilah aku yang hanya mengikuti arus aturan yang layak untuk mempertahankan
identitas sosial. Meski diam-diam aku melanggar peraturan itu. Aku kira pakaian
yang aku kenakan sopan. Menutup aurot dan meratakan semua benjolan yang ada,
tapi masih saja soal pakain diributkan.
By: Fioni (29-4-2013) #Kamar kost, saat bangun tidur, ngelamun, nulis jadi cerita.