Blogroll

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 29 April 2013

IDENTITAS


Aku ingin tampil apa adanya menjadi diriku sendiri! Tidak harus berjubah, bergamis ataupun memakai rok dengan bermacam gaya seperti zaman modern seperti ini. Aku ingin tampil santai dan rileks dengan celana jeans kombor, kaos blus panjang, hijab paris tanpa model dan sepatu ketz. Aku rasa itulah diriku, dengan kostum itu aku merasa nyaman.

Aku memang wanita setengah tomboy! Meskipun Ibu dan Ayahku selalu menekukkan wajah cerianya ketika aku tidak memakai rok. “Kamu ini perempuan nduk! Jangan menyalahi kodrat kamu sebagai seorang perempuan, Ayahmu nanti bisa marah besar kalau tau kamu disana memakai celana! Apa mau, kuliahmu dicabut lalu diungsikan di pondok pesantren?”

Perkataan Ibuku benar-benar membuat bulu kuduku berdiri! Ya, mungkin saja aku trauma dengan tempat itu! Atau mungkin saja hatiku belum terbuka untuk menempati tempat itu lagi, penjara suci! Kami selalu menyebutnya dengan penjara suci! Tempat yang selalu mengekang tanpa ada toleransi untuk carut marut masalah duniawi.tiga tahun aku di sana, tidak boleh keluar selain sekolah dan madrasah. Selain itu peraturannya super duper ketat! Tidak boleh bawa hp, tidak boleh pulang kecuali hari besar yang memang bertepatan dengan liburan sekolah dan madrasah. Seperti ramadhan. Itu pun 2 minggu mendekati lebaran baru diberi izin pulang.

Disana benar-benar terjaga. Apalagi pacaran, melirik cowok saja benar-benar tidak berani karena takut dengan dosa! Zina ain. Kegiatannya belajar, belajar dan belajar. Tidak ada waktu bersenang-senang kecuali sehabis roan malam ketika mendekati liburan, usai roan kita makan malam bersama di kedai ma’had. Itupun hanya makan mie rebus, karena memang itu yang ada. Usai itu kita menikmati malam dengan melantunkan shalawatan di lantai 5. Disana suasana kota Santri benar-benar menajubkan. Lentera yang kelap kelip, kendaraan yang lewat dan bintang gemintang yang masih setia menemani malam. Apalagi kalau hari menjelang pagi atau sore hari. Di timur terlihat gunung Kajar, di selatan ada Laut Bonang, di utara terdapat gedung-gedung yang berrelief khas jogja, di barat ada PLTU dengan kedipan lampunya dan bangunannya menyerupai tugu monas. Indah benar kota ini memang.

Kami cukup menikmati waktu dengan kebersamaan yang bernuansa Islami. Meskipun demikian, aku dikenal santri yang bandel. Suka pergi ke taman tidak izin dengan pengasuh, kadangkala lupa nggak ngaji karena tidur. Aku sering kena ta’ziran akibat ulahku yang tidak taat kepada peraturan ma’had. Dan diam-diam aku juga punya pacar. Meskipun jarak memisahkan kita. Dia ada di tanah sebrang. Cintaku jauh di pulau, kata Chairil Anwar dalam puisinya. Bagaimana bisa dikatakan pacar? Hubungan lewat kontak telepon saja tidak bisa.

Aku seperti manusia biasa yang dianugrahi cinta ketika usiaku mulai remaja. Aku bertemu dengannya di kampung Tanjung Sari. Kami sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama, semenjak itulah dia mulai mencariku dan menghubungiku. Lalu kami merasa ada kecocokan dan sepakat untuk menjalin hubungan asmara. Sebenarnya bukan pertama kalinya aku jatuh cinta dan menjalin hubungan asmara. Tapi inilah yang layak aku namakan cinta karena dahulu kala hanya aku jadikan status belaka.

Aku pacaran dengannya, namanya Ariz! Satu tahun sekali kita bisa ketemu ketika hari lebaran. Itupun hanya bisa melihatnya tanpa duduk berdua dan lain sebagianya. Aku masih malu-malu untuk sekedar menatap wajahnya. Itulah pacaran menurutku. Aku dan dia berbeda, tapi akhirnya dia mengikuti gayaku untuk menjalin hubungan asmara. Pacaran Islami. Ya itulah caraku! Untuk menjaga akidah akhlaqku.

Sebagai musafir ilmu sudah sepantasnya aku tawadu’ terhadap guru-guruku dan semua ustad-ustadku di ma’had. Usai ngaji kitab ta’limul muta’alim, Sumpah itu diikrarkan, “Barang siapa yang punya pacar ketika masih menjadi santri pondok pesantren Nailun Najjah, saya doakan ilmunya tidak barokah.” Ucap gus Ahfa mengakhiri kajian kitabnya. Seketika darahku berdesir, aku terdiam dengan wajah kaku. “Mungkin harus aku akhiri saat ini juga!” Pikirku.

Keesokan harinya aku datang ke wartel. Berusaha memberi kabar tentang hal ini dan memutuskan hubungan cinta diantara kami dengan bijaksana. “Salamualaikum, mas Ariz, ini aku. Nihaya.” Kataku setengah parau karena menahan sesuatu yang akan keluar dari mataku. “Waalaikumsalam, tumben sekali. Ada apa?” Tanya dia sumringah dalam suaranya. Aku menjelaskan panjang lebar kepada Ariz. Sejenak terdiam, dan tak ada jawaban darinya tiba-tiba saluran telepon diputuskan. Setelah aku coba untuk berulang kali menelponnya tapi tidak ada jawaban.

Ya, itulah kisah cintaku di ma’had Nailun Najjah. Beban itu semakin bertambah saat aku terpilih menjadi pengurus ma’had. Aku menjadi seksi pendidikan yang bertugas mengkoordinir mading, membuat surat izin sekolah atau madrasah ketika ada santri yang sakit, membeli kitab-kitab yang dibutuhkan oleh santri, melobi dewan asatid untuk mengkaji kita-kitab ketika bulan ramadhan, mengatur jadwal belajar para santri, membunyikan bel kala kegiatan kependidikan akan dimulai, mengawasi santri yang suka bolos madrasah kemudian mena’zirnya sesuai kebijakan pengurus dan lain-lain. Bukan tugas itu yang aku rasa berat. Tapi sumpah janji pengurus yang diikrarkan ketika masa pelantikan. Seorang pengurus harus jadi uswatun hasanah bagi para santrinya. Itulah yang aku rasa berat. Aku tidak boleh lagi menjadi santri yang bandel. Harus selalu taat kepada peraturan. Dan jabatan itulah yang bisa mendekatkanku kepada pengasuhku, Umi Fatimah. Meskipun jabatan pengurus dibenci para santri karena memang sudah menjadi tugas seorang pengurus ma’had untuk menjadikan suasana ma’had damai dengan kedisiplinan santri. Aku juga bingung mengapa aku terpilih menjadi pengurus ma’had. Antara rasa bangga dan beban yang berat.

Seiring berjalannya waktu, Umi Fatimah semakin sayang kepadaku karena aku menjadi santri yang rajin. Aku juga sering diutus mendampingi umi ketika berpergian. Bahkan umi Fatimah pernah berkeinginan untuk menjodohkanku dengan gus Ihsan, kemenakannya. Tapi setelah masa akhirusanah itu, gus Ihsan dan aku terpisah jauh. Niat suci tak lagi menjadi kenyataan yang aku harapkan. Dia meneruskan studinya di Kairo Mesir, sementara aku hanya melanjutkan kuliah di Semarang.

Aku akan kuliah, waktu yang dua tahun lamanya aku nanti-nanti kini tibalah saatnya. Aku kuliah dengan merubah semua modelku. Dulu aku santri yang tidak terlepas dari gamis ataupun sarung dengan atasan busana muslim panjang, dengan hijab paris besar tanpa model. Aku mulai malu untuk mengenakn busana demikian dalam dunia kampus. Diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua, aku membeli beberapa potong celana jeans. Mana mungkin Ibuku membelikanku celana, yang ada selalu gamis yang dihadiahkan untukku saben minggu. Aku menerimanya dengan senyuman untuk menyenangkan hati Ibuku.

“Nihaya suka? Warnanya ungu muda, cantik untuk kulitmu.” Kata Ibuku dengan senyum bahagia dari bibirnya. “Iya, Bu. Bagus sekali. Aku suka.” Balasku, agar menyenangkan hati Ibuku, aku langsung memakainya usai mandi. Tapi aku tak pernah memakainya di Semarang. Aku pernah memakainya sekali, eh teman-teman menertawakanku. Katanya aku seperti ibu-ibu. Jadi aku kumpulkan saja gamis itu dalam lemariku. Hitung-hitung untuk koleksi.

Tampaknya, kali ini Ibuku tak lagi membelikanku gamis melainkan rok panjang dengan baju seleraku. Aku senang tapi aku rasa terlalu ribet untuk memakainya. Aku ambil saja bajunya dan roknya aku jadikan koleksi di lemari. Aku tetap menerimanya dengan senyuman untuk membuat hati Ibuku lega. Dan pada akhir semester dua aku berani pulang dengan pakaianku ala kadarnya. Dan sambutan mereka seakan kecewa denganku. Berulangkali Ibu menasehatiku tentang layaknya seorang wanita. Dari segi pakaian dan kewajiban tapi aku hanya mengiyakan saja.

“Kamu tidak mau kan nduk, kalau Ibu dan Ayahmu malu? Ingat nduk, Ayahmu itu publik figur di kampung ini. Jangan sampai kamu mencoreng nama beliau.” Katanya yang membuatku iba.

“Ya, tapi kan ini sudah biasa Buk? Ini Nihaya yang sebenarnya. Aku tidak suka dengan batasan karena identitas sosial. Lagi pula, usai ini aku akan tinggal di Semarang.” Ucapku yang ternyata membuat air mata Ibuku meleleh.

Aku semakin merasa bersalah. Terkadang aku merasa terkekang, tidak bisa menjadi siapa Nihaya yang sebenarnya. Harus taat kepada aturan identitas sosial. Hanya karena celana jeans kombor semua masyarakat kisruh membicarakanku. Kalau bukan karena orang tuaku tak peduli lah aku apa kata mereka. Sebelum orangtuaku melemparku ke penjara suci untuk yang ketiga kalinya cepat-cepat aku mengambil hatinya seraya berjanji akan selalu taat pada peraturan awal. Memakai pakaian wanita yang benar. Pakai rok.

Ya, inilah aku yang hanya mengikuti arus aturan yang layak untuk mempertahankan identitas sosial. Meski diam-diam aku melanggar peraturan itu. Aku kira pakaian yang aku kenakan sopan. Menutup aurot dan meratakan semua benjolan yang ada, tapi masih saja soal pakain diributkan.

                                                                                                                                

By: Fioni (29-4-2013)  #Kamar kost, saat bangun tidur, ngelamun, nulis jadi cerita.

Jumat, 11 Januari 2013

Makalah: Islam dan Kesetaraan Gender




HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam dan Kesetaraan Gender
Dosen Pengampu: Moh. Fauzi, Dr., M. Ag


Disusun Oleh:
       Eka Nur’Aini Liya Rochmatiya           (111111064)


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012





I.                   PENDAHULUAN
Kesehatan berasal dari bahasa arab Shihhah. Artinya hilangnya penyakit atau terlepas dari segala cacat. Al-Jurjani dlam At-Ta’rifat mendefinisikan sehat sebagai keadaan atau kondisi mental ynag dengannya dihasilkan sebagai tindakan-tindakan proporsinalsecara sehat.Dalam pepata yang sangat popular dikatakan al-aql as-salim fi al-jism as-salim (akal yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sehat adalah suatu keadaan yang tidak terbatas pada hal-hal mengenai jasmani yang tidak berpenyakit tetapi juga mengenai mental, jiwa, akal yang baik, bersih dan utuh. Apabila hal-hal diatas dikaitkan dengan perempuan maka akan berkaitan dengan alat-alat reproduksi dan fungsinya serta proses-proses bagi berlangsungnya fungsi-fungsi tersebut. Hal ini bisa menyangkut kesehatan alat-alat reproduksi perempuan praproduksi (masa remaja), Produksi (hamil dan menyusui) dan pasca produksi (masa monopouse). Persoalan-persoalan lain yang perlu mendapat perhatian dalam kesehatan reproduksi perempuan adalah mengenai pemenuhan kebutuhan seksual secara memuaskan dan aman, menentukan jumlah anak, hak-haknya untuk mendapatkan perlakuan baik dari semua pihak.

II.                RUMUSAN MASALAH
Hak Reproduksi Perempuan

III.             PEMBAHASAN
Hak Reproduksi Perempuan
Agama Islam memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah kesehatan. Dalam arti secara luas bahwa seluruh ajaran Islam diarahkan dalam rangka mewujudkan kehidupan manusia baik laki-laki maupun perempuan secara personal maupun sosial. Yang sehat secara rohani dan jasmani. Keduanya merupakan syarat bagi tercapainya suatu kehidupan yang sejahtera di dunia maupun di akherat. Perkawinan yang dianjurkan oleh Islam bermaksud sebagai cara sehat dan bertanggung jawab mewujudkan cinta dan kasih antara laki-laki dan perempuan. Ini secara jelas dinyatakan dalam Al-Quran dalam surat Ar-Rum 30:21 yang artinya sebagai berikut:  
Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Dengan landasan cinta dan kasih tersebut sistem kehidupan yang dijalani suami istri dalam rumah tangganya harus pula dilalui dengan proses-proses yang sehat. Cara-cara yang sehat dalam relasi suami istri dalam kehidupan perkawinan tersebut harus dilakukan dengan sikap saling memberi dan menerima secara ikhlas, saling menghargai, saling memahami kepentinan masing-masing tanpa paksaan dan tanpa kekerasan. Ini juga berarti bahwa hubungan seksual tidak boleh dilakukan melalui cara-cara pemaksaan dari siapapun datangnya. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa keharusan istri melayani keinginan suami itu dapat dibenarkan kecuali dalam keadaan sedang mengerjakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.  Penolakan istri juga dibenarkan apabila dia merasa akan dizalimi suaminya. Ini berdasarkan Al-Quran surat Al-Baqoroh 2:228 yang artinya;
Dan mereka (perempuan/ istri) berhak mendapatkan perlakuan baik seperti kewajibannya (memperlakukan suami).
Hak perempuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga berlangsung pada saat dia hamil. Bahkan dalam kondisi ini perhatian suami atas kesehatan istrinya menjadi sangat penting. Al-Quran telah menyatakan secara jelas bahwa perempuan hamil berada dalam kondisi yang sangat lemah bahkan pada saat menjelang melahirkan keadaannya tambah berat. Begitu beratnya pengorbanan perempuan melahirkan, sampai Nabi SAW menyatakan bahwa dia akan menjadi syahid dan dijamin masuk syurga bila kematian akibat melahirkan itu benar-benar terjadi. Hasil-hasil penelitian para ahli kependudukan menyatakan bahwa komplikasi kehamilan dan persalinan benar-benar merupakan pembunuh utama dari kaum wanita usia subur. Keadaan ini seharusnya menyadarkan semua pihak untuk memberikan perhatian yang serius atas kesehatan perempuan yang sedang hamil. Ia tidak boleh membiarkan penderitaan itu di pikulnya sendiri. Atas dasar itu hak perempuan untuk menolak kehamilan juga merupakan hal yang logis dan sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh, terutama oleh suami. Demikian juga dalam hal menentukan jumlah anak yang diinginkannya. Mayoritas ulama fikih menyatakan bahwa anak adalah hak bapak dan ibunya secara bersama-sama. Dengan demikian perempuan berhak pula menentukan kapan mempunyai anak dan berapa jumlahnya.[1]  Dalam pandangan aktivis ormas Islam bahwa berusaha menentukan jumlah anak merupakan prilaku yang secara normatif dibenarkan. Hal senada juga ditegaskan Chairiah seorang ketua Nasyiatul Asyiyah Kalimantan Selatan. Ia mengungkapkan, “Menentukan jumlah anak oleh istri diperbolehkan , sejauh merencanakan bukan menentukan. Mengenai jumlah anak ini harus direncanakan secara bersama-sama,baik oleh suami maupun istri.” Rata-rata perempuan muslim Indonesia setuju jumlah anak ditentukan berdasarkan kesepakatan antara suami dan istri. Yang mungkin masih kontraversi adalah dengan cara apa jumlah anak itu ditentukan atau dengan alat kontrasepsi apa jumlah anak dikendalikan. Dalam masalah ini, sepenuhnya pendapat kalangan perempuan muslim masih merujuk pada keputusan-keputusan ulama soal keluarga berencana (KB).[2] Dan apabila istri menolak untuk hamil dengan cara KB. Istri berhak menentukan alat kontrasepsi apa yang sesuai dengan dirinya. Ia berhak mendapatkan keterangan tentang jaminan kesehatan alat kontrasepsi yang akan dipilihnya. Tentunya pihak-pihak kesehatan berkonsekuensi untuk menyampaikan tentang alat kontrasepsi itu secara jujur.
Islam sebagaimana dipahami dan di tafsirkan oleh Masdar F, Masudi menegaskan bahwa hak-hak reproduksi itu harus dijamin pemenuhannya berkaitan dengan tugas-tugas reproduksi yang diemban oleh kaum perempuan. Hak-hak reproduksi secara kualitatif seimbang dengan hak-hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki sebagaimana pengemban fungsi produksi ( Al-Baqoroh: 228). Hak-hak reproduksi itu meliputi:
1.      Hak jaminan keselamatan dan kesehatan
Hal ini utlak mengingat resiko yang ditanggung kaum perempuan dalam menjalankan tugas-tugas reproduksinya. Mulai dari menstruasi, berhubungan seks, mengandung, melahirkan dan menyusui.
2.      Hak jaminan kesejahteraan
Jaminan ini disamping berlangsung selama proses-proses vital reproduksi (mengandung, melahirkan, menyusui) juga berlangsung di luar itu yaitu berkaitan dengan statusnya sebagai istri atau ibu.
3.      Hak untuk ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan khususnya yang menyangkut reproduksi (Al-Syura: 38) .[3]

Dalam hal kehamilan dan kelahiran Islam memandang sangat empirik terhadap penderitaaan perempuan , terutama saat melahirkan. Tidak ada satu ayat di Al-Quran pun yang melukiskan peristiwa kemanusiaan sepenting ayat tentag kehamilan dan kelahiran. Dalam surat Luqman: 14, Allah berfirman, Kami perintahkan kepada manusia untuk (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya; Ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah diatas lemah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada bapak ibumu , hanya kepadaKu lah engkau kembali. Ayat ini meggambarkan betapa kehamilan dan kelahiran sebagai proses reproduksi perempuan begitu beratnya sehingga Allah menggunakan istilah yang bernama ta’kid (penguatan). Tugas yang sangat berat inilah yang menyebabkan kepantasan apabila fikih Islam mendudukkan perempuan demikian pentingnya. Tidak hanya itu, fikih juga memberikan keringanan-keringanan yang tidak diberikan kepada orang selainnya. Misal ketika sedang mengandung, ibu diperkenankan tidak puasa demi menjaga kesehatan reproduksinya meskipun kemudian membayar qadla’. Bahkan fikih tidak menuntut membayar kifarat apabila alasannya didasarkan pada kesehatan ibu semata.
Dalam kasus yang lain , hak perempuan sebagai ibu yang menyusui juga sangat diperhatikan oleh fikih islam. Sebenarnya menyusui atau tidak itu menjadi hak ibu, bukan kewajiban sebab yang berkewajiban menyusui anak adalah ayah. Artinya apabila kewajiban ayah tidak bisa dilaksanakan itu adalah dosa. Untuk itu menurut madzhab Maliki susu bisa diperjualbelikan. Kalau istri menuntut bayar atas tugas menyusui anak kepada suami, itu adalah sah menurut fikih. Walaupun menurut budaya jawa hal itu tidak dibenarkan. Akan tetapi tampaknya di dunia ini tidak ada seorang ibu pun yang tega menjual air susunya untuk anaknya sendiri.[4]
Disebutkan dalam sumber lain disebutkan bahwa kesetaraan dan keadilan gender dalam kesehatan reproduksi antara lain:
1) suami dan isteri mencari informasi tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi pada
tempat pelayanan kesehatan dan petugas yang berwenang.   
2) suami dan isteri saling membantu dalam memenuhi kesehatan seluruh anggota keluarga.
3) suami dan isteri secara bersama bertanggungjawab dalam menghindari diri dari
penyakit infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV dan AIDS.
4) suami dan isteri perlu memeriksakan kesehatan reproduksinya pada kasus infertilitas sehingga dapat dicarikan jalan keluarnya dengan tepat.
5) suami dan isteri perlu mengetahui usia terbaik bagi perempuan untuk hamil dan melahirkan.
6) suami dan isteri perlu mengetahui tanda-tanda kehamilan serta kehamilan yang berisiko.
7) suami dan isteri mengetahui dengan benar tentang tanda-tanda bahaya kehamilan yang berdampak pada ibu dan janinnya.
8) suami dan isteri memperhatikan gizi yang baik bagi ibu dan janin.[5]

IV.             KESIMPULAN
Perkawinan yang dianjurkan oleh Islam bermaksud sebagai cara sehat dan bertanggung jawab mewujudkan cinta dan kasih antara laki-laki dan perempuan. Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa keharusan istri melayani keinginan suami itu dapat dibenarkan kecuali dalam keadaan sedang mengerjakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.  Penolakan istri juga dibenarkan apabila dia merasa akan dizalimi suaminya. Ini berdasarkan Al-Quran surat Al-Baqoroh 2: 228.
Dalam hal kehamilan dan kelahiran Islam memandang sangat empirik terhadap penderitaaan perempuan , terutama saat melahirkan. Tidak ada satu ayat di Al-Quran pun yang melukiskan peristiwa kemanusiaan sepenting ayat tentag kehamilan dan kelahiran maka dari itu perempuan berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga berlangsung pada saat dia hamil atau melahirkan berkaitan dengan hal ini perempuan berhak pula mentukan kapan mempunyai anak dan berapa jumlahnya. Dalam pandangan aktivis ormas Islam bahwa berusaha menentukan jumlah anak merupakan prilaku yang secara normatif dibenarkan. Hal senada juga ditegaskan Chairiah seorang ketua Nasyiatul Asyiyah Kalimantan Selatan. Ia mengungkapkan, “Menentukan jumlah anak oleh istri diperbolehkan , sejauh merencanakan bukan menentukan. Mengenai jumlah anak ini harus direncanakan secara bersama-sama,baik oleh suami maupun istri.”
Dan dalam hal menyusui merupakan hak seorang ibu dan kewajibannya seorang ayah. Artinya apabila kewajiban ayah tidak bisa dilaksanakan itu adalah dosa. Untuk itu menurut madzhab Maliki susu bisa diperjualbelikan. Kalau istri menuntut bayar atas tugas menyusui anak kepada suami, itu adalah sah menurut fikih.
 Hak-hak reproduksi itu meliputi: hak jaminan keselamatan dan kesehatan, hak jaminan kesejahteraan, hak untuk ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan khususnya yang menyangkut reproduksi (Al-Syura: 38).

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya sajikan. Tentunya masih banyak kekurangan serta kesalahan. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan demi kebaikan makalah saya selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua


DAFTAR PUSTAKA

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LkiS, 2011
Ismatu Jamhari Ropi, Citra Perempuan dalam Islam, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003
Hasyim Syafiq , Manakar Harga Perempuan, Bandung: Mizan, 1999
http://mell-benu.blogspot.com/2012/06/hak-reproduksi-perempuan-dalam-kerangka.html



[1] Muhammad Husein, Fikih Perempuan (Yogyakarta: Lkis, 2011), hlm. 94-96
[2] Jamhari Ismatu Ropi, Citra Perempuan dalam Islam, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 161-162
[3] Ibid, hlm. 153
[4] Syafiq hasyim, Manakar Harga Perempuan, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 116-117
[5] http://mell-benu.blogspot.com/2012/06/hak-reproduksi-perempuan-dalam-kerangka.html