Blogroll

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 11 Januari 2013

Makalah: Islam dan Kesetaraan Gender




HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam dan Kesetaraan Gender
Dosen Pengampu: Moh. Fauzi, Dr., M. Ag


Disusun Oleh:
       Eka Nur’Aini Liya Rochmatiya           (111111064)


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012





I.                   PENDAHULUAN
Kesehatan berasal dari bahasa arab Shihhah. Artinya hilangnya penyakit atau terlepas dari segala cacat. Al-Jurjani dlam At-Ta’rifat mendefinisikan sehat sebagai keadaan atau kondisi mental ynag dengannya dihasilkan sebagai tindakan-tindakan proporsinalsecara sehat.Dalam pepata yang sangat popular dikatakan al-aql as-salim fi al-jism as-salim (akal yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sehat adalah suatu keadaan yang tidak terbatas pada hal-hal mengenai jasmani yang tidak berpenyakit tetapi juga mengenai mental, jiwa, akal yang baik, bersih dan utuh. Apabila hal-hal diatas dikaitkan dengan perempuan maka akan berkaitan dengan alat-alat reproduksi dan fungsinya serta proses-proses bagi berlangsungnya fungsi-fungsi tersebut. Hal ini bisa menyangkut kesehatan alat-alat reproduksi perempuan praproduksi (masa remaja), Produksi (hamil dan menyusui) dan pasca produksi (masa monopouse). Persoalan-persoalan lain yang perlu mendapat perhatian dalam kesehatan reproduksi perempuan adalah mengenai pemenuhan kebutuhan seksual secara memuaskan dan aman, menentukan jumlah anak, hak-haknya untuk mendapatkan perlakuan baik dari semua pihak.

II.                RUMUSAN MASALAH
Hak Reproduksi Perempuan

III.             PEMBAHASAN
Hak Reproduksi Perempuan
Agama Islam memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah kesehatan. Dalam arti secara luas bahwa seluruh ajaran Islam diarahkan dalam rangka mewujudkan kehidupan manusia baik laki-laki maupun perempuan secara personal maupun sosial. Yang sehat secara rohani dan jasmani. Keduanya merupakan syarat bagi tercapainya suatu kehidupan yang sejahtera di dunia maupun di akherat. Perkawinan yang dianjurkan oleh Islam bermaksud sebagai cara sehat dan bertanggung jawab mewujudkan cinta dan kasih antara laki-laki dan perempuan. Ini secara jelas dinyatakan dalam Al-Quran dalam surat Ar-Rum 30:21 yang artinya sebagai berikut:  
Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Dengan landasan cinta dan kasih tersebut sistem kehidupan yang dijalani suami istri dalam rumah tangganya harus pula dilalui dengan proses-proses yang sehat. Cara-cara yang sehat dalam relasi suami istri dalam kehidupan perkawinan tersebut harus dilakukan dengan sikap saling memberi dan menerima secara ikhlas, saling menghargai, saling memahami kepentinan masing-masing tanpa paksaan dan tanpa kekerasan. Ini juga berarti bahwa hubungan seksual tidak boleh dilakukan melalui cara-cara pemaksaan dari siapapun datangnya. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa keharusan istri melayani keinginan suami itu dapat dibenarkan kecuali dalam keadaan sedang mengerjakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.  Penolakan istri juga dibenarkan apabila dia merasa akan dizalimi suaminya. Ini berdasarkan Al-Quran surat Al-Baqoroh 2:228 yang artinya;
Dan mereka (perempuan/ istri) berhak mendapatkan perlakuan baik seperti kewajibannya (memperlakukan suami).
Hak perempuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga berlangsung pada saat dia hamil. Bahkan dalam kondisi ini perhatian suami atas kesehatan istrinya menjadi sangat penting. Al-Quran telah menyatakan secara jelas bahwa perempuan hamil berada dalam kondisi yang sangat lemah bahkan pada saat menjelang melahirkan keadaannya tambah berat. Begitu beratnya pengorbanan perempuan melahirkan, sampai Nabi SAW menyatakan bahwa dia akan menjadi syahid dan dijamin masuk syurga bila kematian akibat melahirkan itu benar-benar terjadi. Hasil-hasil penelitian para ahli kependudukan menyatakan bahwa komplikasi kehamilan dan persalinan benar-benar merupakan pembunuh utama dari kaum wanita usia subur. Keadaan ini seharusnya menyadarkan semua pihak untuk memberikan perhatian yang serius atas kesehatan perempuan yang sedang hamil. Ia tidak boleh membiarkan penderitaan itu di pikulnya sendiri. Atas dasar itu hak perempuan untuk menolak kehamilan juga merupakan hal yang logis dan sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh, terutama oleh suami. Demikian juga dalam hal menentukan jumlah anak yang diinginkannya. Mayoritas ulama fikih menyatakan bahwa anak adalah hak bapak dan ibunya secara bersama-sama. Dengan demikian perempuan berhak pula menentukan kapan mempunyai anak dan berapa jumlahnya.[1]  Dalam pandangan aktivis ormas Islam bahwa berusaha menentukan jumlah anak merupakan prilaku yang secara normatif dibenarkan. Hal senada juga ditegaskan Chairiah seorang ketua Nasyiatul Asyiyah Kalimantan Selatan. Ia mengungkapkan, “Menentukan jumlah anak oleh istri diperbolehkan , sejauh merencanakan bukan menentukan. Mengenai jumlah anak ini harus direncanakan secara bersama-sama,baik oleh suami maupun istri.” Rata-rata perempuan muslim Indonesia setuju jumlah anak ditentukan berdasarkan kesepakatan antara suami dan istri. Yang mungkin masih kontraversi adalah dengan cara apa jumlah anak itu ditentukan atau dengan alat kontrasepsi apa jumlah anak dikendalikan. Dalam masalah ini, sepenuhnya pendapat kalangan perempuan muslim masih merujuk pada keputusan-keputusan ulama soal keluarga berencana (KB).[2] Dan apabila istri menolak untuk hamil dengan cara KB. Istri berhak menentukan alat kontrasepsi apa yang sesuai dengan dirinya. Ia berhak mendapatkan keterangan tentang jaminan kesehatan alat kontrasepsi yang akan dipilihnya. Tentunya pihak-pihak kesehatan berkonsekuensi untuk menyampaikan tentang alat kontrasepsi itu secara jujur.
Islam sebagaimana dipahami dan di tafsirkan oleh Masdar F, Masudi menegaskan bahwa hak-hak reproduksi itu harus dijamin pemenuhannya berkaitan dengan tugas-tugas reproduksi yang diemban oleh kaum perempuan. Hak-hak reproduksi secara kualitatif seimbang dengan hak-hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki sebagaimana pengemban fungsi produksi ( Al-Baqoroh: 228). Hak-hak reproduksi itu meliputi:
1.      Hak jaminan keselamatan dan kesehatan
Hal ini utlak mengingat resiko yang ditanggung kaum perempuan dalam menjalankan tugas-tugas reproduksinya. Mulai dari menstruasi, berhubungan seks, mengandung, melahirkan dan menyusui.
2.      Hak jaminan kesejahteraan
Jaminan ini disamping berlangsung selama proses-proses vital reproduksi (mengandung, melahirkan, menyusui) juga berlangsung di luar itu yaitu berkaitan dengan statusnya sebagai istri atau ibu.
3.      Hak untuk ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan khususnya yang menyangkut reproduksi (Al-Syura: 38) .[3]

Dalam hal kehamilan dan kelahiran Islam memandang sangat empirik terhadap penderitaaan perempuan , terutama saat melahirkan. Tidak ada satu ayat di Al-Quran pun yang melukiskan peristiwa kemanusiaan sepenting ayat tentag kehamilan dan kelahiran. Dalam surat Luqman: 14, Allah berfirman, Kami perintahkan kepada manusia untuk (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya; Ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah diatas lemah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada bapak ibumu , hanya kepadaKu lah engkau kembali. Ayat ini meggambarkan betapa kehamilan dan kelahiran sebagai proses reproduksi perempuan begitu beratnya sehingga Allah menggunakan istilah yang bernama ta’kid (penguatan). Tugas yang sangat berat inilah yang menyebabkan kepantasan apabila fikih Islam mendudukkan perempuan demikian pentingnya. Tidak hanya itu, fikih juga memberikan keringanan-keringanan yang tidak diberikan kepada orang selainnya. Misal ketika sedang mengandung, ibu diperkenankan tidak puasa demi menjaga kesehatan reproduksinya meskipun kemudian membayar qadla’. Bahkan fikih tidak menuntut membayar kifarat apabila alasannya didasarkan pada kesehatan ibu semata.
Dalam kasus yang lain , hak perempuan sebagai ibu yang menyusui juga sangat diperhatikan oleh fikih islam. Sebenarnya menyusui atau tidak itu menjadi hak ibu, bukan kewajiban sebab yang berkewajiban menyusui anak adalah ayah. Artinya apabila kewajiban ayah tidak bisa dilaksanakan itu adalah dosa. Untuk itu menurut madzhab Maliki susu bisa diperjualbelikan. Kalau istri menuntut bayar atas tugas menyusui anak kepada suami, itu adalah sah menurut fikih. Walaupun menurut budaya jawa hal itu tidak dibenarkan. Akan tetapi tampaknya di dunia ini tidak ada seorang ibu pun yang tega menjual air susunya untuk anaknya sendiri.[4]
Disebutkan dalam sumber lain disebutkan bahwa kesetaraan dan keadilan gender dalam kesehatan reproduksi antara lain:
1) suami dan isteri mencari informasi tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi pada
tempat pelayanan kesehatan dan petugas yang berwenang.   
2) suami dan isteri saling membantu dalam memenuhi kesehatan seluruh anggota keluarga.
3) suami dan isteri secara bersama bertanggungjawab dalam menghindari diri dari
penyakit infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV dan AIDS.
4) suami dan isteri perlu memeriksakan kesehatan reproduksinya pada kasus infertilitas sehingga dapat dicarikan jalan keluarnya dengan tepat.
5) suami dan isteri perlu mengetahui usia terbaik bagi perempuan untuk hamil dan melahirkan.
6) suami dan isteri perlu mengetahui tanda-tanda kehamilan serta kehamilan yang berisiko.
7) suami dan isteri mengetahui dengan benar tentang tanda-tanda bahaya kehamilan yang berdampak pada ibu dan janinnya.
8) suami dan isteri memperhatikan gizi yang baik bagi ibu dan janin.[5]

IV.             KESIMPULAN
Perkawinan yang dianjurkan oleh Islam bermaksud sebagai cara sehat dan bertanggung jawab mewujudkan cinta dan kasih antara laki-laki dan perempuan. Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa keharusan istri melayani keinginan suami itu dapat dibenarkan kecuali dalam keadaan sedang mengerjakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.  Penolakan istri juga dibenarkan apabila dia merasa akan dizalimi suaminya. Ini berdasarkan Al-Quran surat Al-Baqoroh 2: 228.
Dalam hal kehamilan dan kelahiran Islam memandang sangat empirik terhadap penderitaaan perempuan , terutama saat melahirkan. Tidak ada satu ayat di Al-Quran pun yang melukiskan peristiwa kemanusiaan sepenting ayat tentag kehamilan dan kelahiran maka dari itu perempuan berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga berlangsung pada saat dia hamil atau melahirkan berkaitan dengan hal ini perempuan berhak pula mentukan kapan mempunyai anak dan berapa jumlahnya. Dalam pandangan aktivis ormas Islam bahwa berusaha menentukan jumlah anak merupakan prilaku yang secara normatif dibenarkan. Hal senada juga ditegaskan Chairiah seorang ketua Nasyiatul Asyiyah Kalimantan Selatan. Ia mengungkapkan, “Menentukan jumlah anak oleh istri diperbolehkan , sejauh merencanakan bukan menentukan. Mengenai jumlah anak ini harus direncanakan secara bersama-sama,baik oleh suami maupun istri.”
Dan dalam hal menyusui merupakan hak seorang ibu dan kewajibannya seorang ayah. Artinya apabila kewajiban ayah tidak bisa dilaksanakan itu adalah dosa. Untuk itu menurut madzhab Maliki susu bisa diperjualbelikan. Kalau istri menuntut bayar atas tugas menyusui anak kepada suami, itu adalah sah menurut fikih.
 Hak-hak reproduksi itu meliputi: hak jaminan keselamatan dan kesehatan, hak jaminan kesejahteraan, hak untuk ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan khususnya yang menyangkut reproduksi (Al-Syura: 38).

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya sajikan. Tentunya masih banyak kekurangan serta kesalahan. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan demi kebaikan makalah saya selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua


DAFTAR PUSTAKA

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LkiS, 2011
Ismatu Jamhari Ropi, Citra Perempuan dalam Islam, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003
Hasyim Syafiq , Manakar Harga Perempuan, Bandung: Mizan, 1999
http://mell-benu.blogspot.com/2012/06/hak-reproduksi-perempuan-dalam-kerangka.html



[1] Muhammad Husein, Fikih Perempuan (Yogyakarta: Lkis, 2011), hlm. 94-96
[2] Jamhari Ismatu Ropi, Citra Perempuan dalam Islam, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 161-162
[3] Ibid, hlm. 153
[4] Syafiq hasyim, Manakar Harga Perempuan, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 116-117
[5] http://mell-benu.blogspot.com/2012/06/hak-reproduksi-perempuan-dalam-kerangka.html