Blogroll

Senin, 29 April 2013

IDENTITAS


Aku ingin tampil apa adanya menjadi diriku sendiri! Tidak harus berjubah, bergamis ataupun memakai rok dengan bermacam gaya seperti zaman modern seperti ini. Aku ingin tampil santai dan rileks dengan celana jeans kombor, kaos blus panjang, hijab paris tanpa model dan sepatu ketz. Aku rasa itulah diriku, dengan kostum itu aku merasa nyaman.


Aku memang wanita setengah tomboy! Meskipun Ibu dan Ayahku selalu menekukkan wajah cerianya ketika aku tidak memakai rok. “Kamu ini perempuan nduk! Jangan menyalahi kodrat kamu sebagai seorang perempuan, Ayahmu nanti bisa marah besar kalau tau kamu disana memakai celana! Apa mau, kuliahmu dicabut lalu diungsikan di pondok pesantren?”

Perkataan Ibuku benar-benar membuat bulu kuduku berdiri! Ya, mungkin saja aku trauma dengan tempat itu! Atau mungkin saja hatiku belum terbuka untuk menempati tempat itu lagi, penjara suci! Kami selalu menyebutnya dengan penjara suci! Tempat yang selalu mengekang tanpa ada toleransi untuk carut marut masalah duniawi.tiga tahun aku di sana, tidak boleh keluar selain sekolah dan madrasah. Selain itu peraturannya super duper ketat! Tidak boleh bawa hp, tidak boleh pulang kecuali hari besar yang memang bertepatan dengan liburan sekolah dan madrasah. Seperti ramadhan. Itu pun 2 minggu mendekati lebaran baru diberi izin pulang.

Disana benar-benar terjaga. Apalagi pacaran, melirik cowok saja benar-benar tidak berani karena takut dengan dosa! Zina ain. Kegiatannya belajar, belajar dan belajar. Tidak ada waktu bersenang-senang kecuali sehabis roan malam ketika mendekati liburan, usai roan kita makan malam bersama di kedai ma’had. Itupun hanya makan mie rebus, karena memang itu yang ada. Usai itu kita menikmati malam dengan melantunkan shalawatan di lantai 5. Disana suasana kota Santri benar-benar menajubkan. Lentera yang kelap kelip, kendaraan yang lewat dan bintang gemintang yang masih setia menemani malam. Apalagi kalau hari menjelang pagi atau sore hari. Di timur terlihat gunung Kajar, di selatan ada Laut Bonang, di utara terdapat gedung-gedung yang berrelief khas jogja, di barat ada PLTU dengan kedipan lampunya dan bangunannya menyerupai tugu monas. Indah benar kota ini memang.

Kami cukup menikmati waktu dengan kebersamaan yang bernuansa Islami. Meskipun demikian, aku dikenal santri yang bandel. Suka pergi ke taman tidak izin dengan pengasuh, kadangkala lupa nggak ngaji karena tidur. Aku sering kena ta’ziran akibat ulahku yang tidak taat kepada peraturan ma’had. Dan diam-diam aku juga punya pacar. Meskipun jarak memisahkan kita. Dia ada di tanah sebrang. Cintaku jauh di pulau, kata Chairil Anwar dalam puisinya. Bagaimana bisa dikatakan pacar? Hubungan lewat kontak telepon saja tidak bisa.

Aku seperti manusia biasa yang dianugrahi cinta ketika usiaku mulai remaja. Aku bertemu dengannya di kampung Tanjung Sari. Kami sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama, semenjak itulah dia mulai mencariku dan menghubungiku. Lalu kami merasa ada kecocokan dan sepakat untuk menjalin hubungan asmara. Sebenarnya bukan pertama kalinya aku jatuh cinta dan menjalin hubungan asmara. Tapi inilah yang layak aku namakan cinta karena dahulu kala hanya aku jadikan status belaka.

Aku pacaran dengannya, namanya Ariz! Satu tahun sekali kita bisa ketemu ketika hari lebaran. Itupun hanya bisa melihatnya tanpa duduk berdua dan lain sebagianya. Aku masih malu-malu untuk sekedar menatap wajahnya. Itulah pacaran menurutku. Aku dan dia berbeda, tapi akhirnya dia mengikuti gayaku untuk menjalin hubungan asmara. Pacaran Islami. Ya itulah caraku! Untuk menjaga akidah akhlaqku.

Sebagai musafir ilmu sudah sepantasnya aku tawadu’ terhadap guru-guruku dan semua ustad-ustadku di ma’had. Usai ngaji kitab ta’limul muta’alim, Sumpah itu diikrarkan, “Barang siapa yang punya pacar ketika masih menjadi santri pondok pesantren Nailun Najjah, saya doakan ilmunya tidak barokah.” Ucap gus Ahfa mengakhiri kajian kitabnya. Seketika darahku berdesir, aku terdiam dengan wajah kaku. “Mungkin harus aku akhiri saat ini juga!” Pikirku.

Keesokan harinya aku datang ke wartel. Berusaha memberi kabar tentang hal ini dan memutuskan hubungan cinta diantara kami dengan bijaksana. “Salamualaikum, mas Ariz, ini aku. Nihaya.” Kataku setengah parau karena menahan sesuatu yang akan keluar dari mataku. “Waalaikumsalam, tumben sekali. Ada apa?” Tanya dia sumringah dalam suaranya. Aku menjelaskan panjang lebar kepada Ariz. Sejenak terdiam, dan tak ada jawaban darinya tiba-tiba saluran telepon diputuskan. Setelah aku coba untuk berulang kali menelponnya tapi tidak ada jawaban.

Ya, itulah kisah cintaku di ma’had Nailun Najjah. Beban itu semakin bertambah saat aku terpilih menjadi pengurus ma’had. Aku menjadi seksi pendidikan yang bertugas mengkoordinir mading, membuat surat izin sekolah atau madrasah ketika ada santri yang sakit, membeli kitab-kitab yang dibutuhkan oleh santri, melobi dewan asatid untuk mengkaji kita-kitab ketika bulan ramadhan, mengatur jadwal belajar para santri, membunyikan bel kala kegiatan kependidikan akan dimulai, mengawasi santri yang suka bolos madrasah kemudian mena’zirnya sesuai kebijakan pengurus dan lain-lain. Bukan tugas itu yang aku rasa berat. Tapi sumpah janji pengurus yang diikrarkan ketika masa pelantikan. Seorang pengurus harus jadi uswatun hasanah bagi para santrinya. Itulah yang aku rasa berat. Aku tidak boleh lagi menjadi santri yang bandel. Harus selalu taat kepada peraturan. Dan jabatan itulah yang bisa mendekatkanku kepada pengasuhku, Umi Fatimah. Meskipun jabatan pengurus dibenci para santri karena memang sudah menjadi tugas seorang pengurus ma’had untuk menjadikan suasana ma’had damai dengan kedisiplinan santri. Aku juga bingung mengapa aku terpilih menjadi pengurus ma’had. Antara rasa bangga dan beban yang berat.

Seiring berjalannya waktu, Umi Fatimah semakin sayang kepadaku karena aku menjadi santri yang rajin. Aku juga sering diutus mendampingi umi ketika berpergian. Bahkan umi Fatimah pernah berkeinginan untuk menjodohkanku dengan gus Ihsan, kemenakannya. Tapi setelah masa akhirusanah itu, gus Ihsan dan aku terpisah jauh. Niat suci tak lagi menjadi kenyataan yang aku harapkan. Dia meneruskan studinya di Kairo Mesir, sementara aku hanya melanjutkan kuliah di Semarang.

Aku akan kuliah, waktu yang dua tahun lamanya aku nanti-nanti kini tibalah saatnya. Aku kuliah dengan merubah semua modelku. Dulu aku santri yang tidak terlepas dari gamis ataupun sarung dengan atasan busana muslim panjang, dengan hijab paris besar tanpa model. Aku mulai malu untuk mengenakn busana demikian dalam dunia kampus. Diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua, aku membeli beberapa potong celana jeans. Mana mungkin Ibuku membelikanku celana, yang ada selalu gamis yang dihadiahkan untukku saben minggu. Aku menerimanya dengan senyuman untuk menyenangkan hati Ibuku.

“Nihaya suka? Warnanya ungu muda, cantik untuk kulitmu.” Kata Ibuku dengan senyum bahagia dari bibirnya. “Iya, Bu. Bagus sekali. Aku suka.” Balasku, agar menyenangkan hati Ibuku, aku langsung memakainya usai mandi. Tapi aku tak pernah memakainya di Semarang. Aku pernah memakainya sekali, eh teman-teman menertawakanku. Katanya aku seperti ibu-ibu. Jadi aku kumpulkan saja gamis itu dalam lemariku. Hitung-hitung untuk koleksi.

Tampaknya, kali ini Ibuku tak lagi membelikanku gamis melainkan rok panjang dengan baju seleraku. Aku senang tapi aku rasa terlalu ribet untuk memakainya. Aku ambil saja bajunya dan roknya aku jadikan koleksi di lemari. Aku tetap menerimanya dengan senyuman untuk membuat hati Ibuku lega. Dan pada akhir semester dua aku berani pulang dengan pakaianku ala kadarnya. Dan sambutan mereka seakan kecewa denganku. Berulangkali Ibu menasehatiku tentang layaknya seorang wanita. Dari segi pakaian dan kewajiban tapi aku hanya mengiyakan saja.

“Kamu tidak mau kan nduk, kalau Ibu dan Ayahmu malu? Ingat nduk, Ayahmu itu publik figur di kampung ini. Jangan sampai kamu mencoreng nama beliau.” Katanya yang membuatku iba.

“Ya, tapi kan ini sudah biasa Buk? Ini Nihaya yang sebenarnya. Aku tidak suka dengan batasan karena identitas sosial. Lagi pula, usai ini aku akan tinggal di Semarang.” Ucapku yang ternyata membuat air mata Ibuku meleleh.

Aku semakin merasa bersalah. Terkadang aku merasa terkekang, tidak bisa menjadi siapa Nihaya yang sebenarnya. Harus taat kepada aturan identitas sosial. Hanya karena celana jeans kombor semua masyarakat kisruh membicarakanku. Kalau bukan karena orang tuaku tak peduli lah aku apa kata mereka. Sebelum orangtuaku melemparku ke penjara suci untuk yang ketiga kalinya cepat-cepat aku mengambil hatinya seraya berjanji akan selalu taat pada peraturan awal. Memakai pakaian wanita yang benar. Pakai rok.

Ya, inilah aku yang hanya mengikuti arus aturan yang layak untuk mempertahankan identitas sosial. Meski diam-diam aku melanggar peraturan itu. Aku kira pakaian yang aku kenakan sopan. Menutup aurot dan meratakan semua benjolan yang ada, tapi masih saja soal pakain diributkan.

                                                                                                                                

By: Fioni (29-4-2013)  #Kamar kost, saat bangun tidur, ngelamun, nulis jadi cerita.

1 komentar:

  1. aku tidak tahu apa isi tulisanMu..
    baik atau buruknya aku juga tdak tahu,,,,

    tapi aku suka gayamu, tulisanMu & BakatMu,,,

    BalasHapus