Blogroll

Selasa, 25 Desember 2012

EDO DAN KARANG DI LAUTAN

Seperti karang di lautan yang tak kan goyah diterjang ombak. Itulah yang menjadi motivasiku untuk tetap bertahan sekolah. Aku adalah anak pantai yang suka bermain layang-layang atau sekedar membaca kehidupan lewat deburan ombak, perahu, atau nelayan. Jika dipikirkan kehidupan ini begitu kejam. Terkadang kita harus diam ditindas hanya gara-gara status sosial. Kebenaran bisa dibeli dengan uang.

Namaku Edo, aku anak tunggal dari emak dan bapak. Emakku adalah seorang penjual ikan teri di pasar Jatisari. Hasil dari bapakku berlayar di lautan. Setiap pagi sehabis subuh emakku dengan semangat menggendong dunaknya lalu berjalan beberapa meter dari rumah menuju pasar untuk berdagang. Aku merasa iba dengan emakku yang sudah tua masih saja berdagang untuk membiayai kehidupan kami sehari-hari. Aku ingin sekali membantu emak dengan berhenti dari bangku sekolah tapi emak selalu bilang, “Mau jadi apa kalau kamu tidak sekolah? Mau jadi seperti emak?”

Itu yang selalu emak bilang kepadaku bahwasanya apapun yang terjadi aku tidak boleh putus sekolah. Kali ini aku menduduki bangku SMA kelas X11 IPS. Aku memilih jurusan IPS karena aku ingin melanjutkan kuliah jurusan ekonomi mengingat cita-citaku menjadi seorang Businessman. Aku ingin membahagiakan kedua orangtuaku terutama emakku yang sudah susah payah membiayai sekolahku. Bapakku seorang nelayan namun hasilnya tidak pernah diberikan kepada emak. Dia suka main wanita, judi dan terkadang berbuat kasar kepada emak.

Hanya ikan-ikan kecil yang sampai kepada emak lalu emak berinisiatif untuk menjualnya yang hasilnya tidak seberapa. Dulu kami adalah orang yang kaya di kampung Jatisari. Dengan kapal-kapal bapak peninggalan dari simbah kakung tapi perlahan ludes karena kelakuan bapak. Bagiku judi adalah perbuatan terkutuk yang membawa kemelaratan. Dari judi itulah harta peninggalan mbah kakung habis. Emak pun tidak berani dengan bapak karena sikapnya yang kasar membuat emak lemah menghadapi bapak.

Meskipun demikian emak tidak pernah mengeluh, ia senantiasa memperlihatkan ketegarannya di depanku meski aku sering melihat emak menangis usai salat. Terkadang aku begitu benci dengan kehidupan. Mengapa aku tidak seberuntung teman-temanku? Yang hidup dalam keluarga harmonis tanpa beban sedikitpun. Hanya karang di lautan  yang membuatku terus bangkit. Ia tak kan goyah dan hancur diterpa badai dan ombak. Seperti emakku yang tetap tegar dan senantiasa tersenyum indah meskipun aku tau dibalik senyumnya menyimpan beban yang teramat dalam.

Dari mulai SD aku sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan oleh perempuan. Seperti menyapu, mencuci piring, mencuci baju bahkan masak. Aku senang melakukannya. Sebelum sekolah semua pekerjaan-pekerjaan itu sudah selesai aku lakukan kemudian aku baru berangkat dengan sepeda tuaku. Meskipun jaraknya jauh, tapi aku tetap mengayuh sepeda mengingat ekonomi keluargaku yang tidak memungkinkan memberiku saku untuk biaya angkot.

Dari SD aku sudah terbiasa hidup sederhana. Tidak pernah saku sepeserpun setiap pergi sekolah. Seragamku pun lusung karena pemberian dari tetanggaku yang sudah tidak dipakainya. Untungnya aku selalu mendapat juara satu pararel jadi masalah SPP sudah ditanggung pihak sekolah. Kegiatan sehari-hariku serasa monoton tidak ada yang menarik. Tidak seperti teman-temanku yang dengan asyik nongkrong, pacaran dan pergi rekreasi. Sementara aku hanya sekolah lalu membantu emak dan belajar. Bagiku pantai cukup membuatku damai. Disitulah aku bisa membaca kehidupan.

Detik-detik UN semakin mendekat. Aku pun sibuk belajar. Aku ingin seperti hari kemarin yang bisa membantu emak tapi emak melarangku dan menyuruhku fokus terhadap sekolahku. Sebenarnya aku sedih melihat emakku yang bekerja keras demi keluarga ini. Kapan bapakku sadar bahwa dialah kepala keluarga yang seharusnya mengayomi keluarganya bukan membiarkan sengsara. Seperti emakku yang setiap pagi harus mengerjakan pekerjaan domestik lalu bekerja untuk menghasilkan finansial.

Teman-temanku sudah mulai ricuh membahas bangku perkuliahan. Sementara aku hanya terdiam. Aku sudah merasa putus asa untuk kuliah kecuali beasiswa bidikmisi kudapatkan. Mengingat nilai raportku yang setiap tahunnya naik dan rata-ratanya pun cukup memuaskan. Usai UN semua teman-temanku disibukkan oleh pendaftaran-pendaftaran kuliah. Ada yang daftar melalui jalur SNMPTN, ada yang jalur regular, ada yang melalui jalur SPMB-PTAIN dan bidimisi. Aku pun tidak tau apakah aku bisa kuliah atau tidak. Yang pasti aku selalu berdoa kepada Allah agar aku bisa meraih cita-citaku.

Dengan segala usahaku selama ini aku hanya bisa pasrah. Nilai ujian nasionalku cukup memuaskan. Rata-rata 9,0. Dengan nilai hampir sempurna aku berharap ada yang membiayaiku untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu kuliah. Akan selalu ada pelangi disetiap badai, senyum disetiap airmata, berkah disetiap cobaan dan jawaban disetiap doa. Aku mendapat beasiswa bidikmisi di salah satu kampus ternama di Indonesia. UGM. Ya… Aku bersyukur bisa masuk UGM dengan gratis. Tanpa membebani emakku. Emakku pun tersenyum senang. Memelukku erat, saat melepaskanku menuju kota pelajar. Kebahagiaan yang disertai linangan airmata kini kurasakan. Bagaimana emak jika aku tinggalkan sendiri? Hidup sebatang kara dengan bapakku yang pulang seminggu sekali tanpa mempedulikan emak.

Akupun diselimuti kebimbangan untuk menginjak kota Jogja. Namun emakku tersenyum sembari memberikan motivasinya kepadaku bahwa hidup adalah pilihan. Disetiap pilihan ada konsekuensi tersendiri. Emak menasehatiku dengan pituturnya yang lembut. Membangkitkan semangatku sehingga aku yakin bahwa aku memilih kuliah untuk meraih cita-citaku. Aku ingin membahagiakan emak. Mengajaknya keliling kota mengendarai mobil pribadiku, mempunyai rumah megah dan membiayai emak untuk ibadah haji ke baitullah. Semangatku terus berkobar dan aku sujud di kaki emak memohan doa dan restunya agar cita-citaku bisa kugapai dengan mudah.

Kini aku sudah menjadi seorang mahasiswa. Dalam kehidupan kampus aku mempunyai tiga orientasi yaitu nilai akademik, aktifis kampus serta bekerja. Aku begitu sibuk dengan ketiga kegiatanku. Bahkan aku hanya tidur tiga jam dalam sehari semalam. Aku harus benar-benar ekstra dalam memanfaatkan waktu dan tenagaku. Aku tidak pernah punya waktu untuk sekedar santai. Mengingat emakku di kampung yang bekerja keras membuatku pilu. Aku sangat menyayangi emak yang telah berjuang dengan jiwa raganya melahirkanku, membesarkanku dan mendidikku.

Sungguh emak adalah orang yang paling mulia. Maka dari itu semua orang menyebut bahwa surga itu berada di telapak kaki ibu. Adakah kasih sayang suci seseorang yang melebihi kasih sayang ibu terhadap anaknya? Emak… Emak… Aku merindukanmu. Bagimana kabarmu mak? Sudah 3 bulan ini aku tak juga pulang mengingat biaya transfortasi yang menurutku mahal. Penghasilanku tak seberapa dan itu juga aku sisihkan untuk menabung.

Ketika kita tak mampu berada di atas maka tengoklah ke bawah saat itu juga kita akan selalu bersyukur. Demikianlah pesan emak kepadaku bahwa hidup ini adalah proses bagaimana kita memperjuangkannya. Aku masih bisa kuliah dan makan meskipun hanya dengan krupuk. Itu hanyalah proses berjuang dimana jika kita kuat maka kita akan menjadi orang hebat. Aku yakin Allah akan mengabulkan doa hambanya yang senantiasa mau berusaha. Hari-hari terus berlalu. Jam begitu cepat berputar. Sehari serasa kayak satu menit. Itulah yang selalu kurasakan. Aku selalu merasa kurang dengan waktuku untuk mencoba hal-hal yang baru.

Tak terasa tiga tahun telah terlewatkan. Semester depan aku wisuda. Aku akan membawa emak dan bapak ke Jogja. Untung lah aku selalu menyisihkan uang untuk menabung jadi saat-saat seperti ini tak perlu meminta kepada emak. Menyewa mobil untuk pemberangkatan emak dan bapak menghadiri wisudaku nanti. Aku ingin melihat emakku tersenyum bahagia dan bangga memiliki anak sepertiku. Meskipun emak hanya penjual teri di pasar tapi memiliki anak yang cerdas serta patuh terhadap orangtua.

Dalam penyerahan ijasah sarjana aku ditemani emak dan bapak. Aku sangat bersyukur hari itu juga aku mendapat penghargaan dari dosen waliku karena IPK-ku mencapai 4,0. Emakku menangis sesunggukkan tanpa berkata-kata. Sementara bapakku hanya terdiam namun dari wajahnya aku bisa membaca bahwa bapak bangga kepadaku. Kemudian bapak memelukku. Saat itulah menurutku merupakan sejarah yang perlu aku catat. Bahwa bapak bersedia memelukku. Yang aku rasakan bukan lagi bangga atas IPK-ku . Tapi aku merasakan keluarga yang utuh penuh dengan keharmonisan.

Sementara itu aku bertekad untuk kembali ke Jatisari mendirikan lapangan pekerjaan di sana karena banyak hasil laut yang seharusnya bisa dikelola sendiri. Banyak pemuda di sana yang pengangguran kemudian merantau ke negri orang untuk mendapat pekerjaan. Aku berniat mendirikan usaha teri. Membuat keripik teri dengan dikemas istemewa lalu diperjual belikan. Dengan keyakinan yang mantap aku mulai mencobanya. Melihat perkembangannya aku semakin yakin bahwa aku harus mendirikan bangunan untuk pabrik keripik teri. Lalu aku mulai mempunyai karyawan. Begitu seterusnya hingga usahaku besar dan dikenal semua orang.

Kini tak lagi rumah reot yang aku tinggali demikian juga emak dan bapak. Aku membangun rumahku yang reot menjadi rumah yang megah. Terdapat parkir mobil pribadi di samping rumahku. Ada gerbang tinggi sebelum masuk rumah. Ada taman yang disertai kolam ikan, air mancur dan tanaman-tanaman hias yang sangat cantik. Beberapa bonsai yang ku tempatkan di sudut-sudut taman dan lampu pelangi agar suasana malam semakin indah saat lampu bergantian mati dan menyala. Kami bertiga pun sudah mendaftarkan diri untuk pergi haji. Kini cita-citaku telah tercapai.

Aku kembali melihat pantai. Aku menatap karang di tengah lautan. Ia tetap tegar diterjang badai ataupun ombak. Aku banyak belajar tentang laut. Dari laut aku berasal pun aku akan kembali pada laut. Semua ini karena Allah dan emak. Allah telah menjawab doa-doaku dan emak yang telah memberikan separuh hidupnya untukku. Emak… Sungguh engkaulah cahaya hidupku. Tanpamu aku tak akan ada di dunia mak.. Kasih sayangmu yang lembut mengalahkan sutra. Pituturmu yang bijaksana dan motivasi yang selalu engkau berikan untukku sungguh istimewa.

Emak, engkaulah wanita yang paling beharga dalam hidupku. Kini aku mempunyai cita-cita besar yaitu membangun kampung Jatisari agar masyarakatnya hidup makmur. Tidak ada pengangguran dan tidak ada rendahnya tingkat pendidikan. Namun aku ingat bahwa setiap keinginan mempunyai konsekuesi. Konsekuensinya adalah bagaimana aku harus berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkan cita-citaku itu.

Hidup adalah proses terkadang kita harus melewati bebatuan terjal untuk mendapatkan sesuap nasi. Itulah hidup, saat kita berproses dengan baik dan perpegang pada cita-cita maka kita akan senantiasa berjuang untuk meraihnya. Saat semua sudah kita genggang, kita akan merasakan kemenangan. Menghapus keringat kelelahan dengan rasa puas.
                                                                                                                        By: Fioni

0 komentar:

Posting Komentar