HAK-HAK REPRODUKSI
PEREMPUAN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam dan Kesetaraan Gender
Dosen Pengampu: Moh. Fauzi, Dr., M. Ag
Disusun Oleh:
Eka Nur’Aini Liya Rochmatiya (111111064)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Kesehatan
berasal dari bahasa arab Shihhah. Artinya hilangnya penyakit atau terlepas dari
segala cacat. Al-Jurjani dlam At-Ta’rifat
mendefinisikan sehat sebagai keadaan atau kondisi mental ynag dengannya
dihasilkan sebagai tindakan-tindakan proporsinalsecara sehat.Dalam pepata yang
sangat popular dikatakan al-aql as-salim
fi al-jism as-salim (akal yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat). Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sehat adalah suatu keadaan yang tidak
terbatas pada hal-hal mengenai jasmani yang tidak berpenyakit tetapi juga
mengenai mental, jiwa, akal yang baik, bersih dan utuh. Apabila hal-hal diatas
dikaitkan dengan perempuan maka akan berkaitan dengan alat-alat reproduksi dan
fungsinya serta proses-proses bagi berlangsungnya fungsi-fungsi tersebut. Hal
ini bisa menyangkut kesehatan alat-alat reproduksi perempuan praproduksi (masa
remaja), Produksi (hamil dan menyusui) dan pasca produksi (masa monopouse). Persoalan-persoalan lain
yang perlu mendapat perhatian dalam kesehatan reproduksi perempuan adalah
mengenai pemenuhan kebutuhan seksual secara memuaskan dan aman, menentukan
jumlah anak, hak-haknya untuk mendapatkan perlakuan baik dari semua pihak.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Hak Reproduksi
Perempuan
III.
PEMBAHASAN
Hak Reproduksi
Perempuan
Agama
Islam memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah kesehatan. Dalam
arti secara luas bahwa seluruh ajaran Islam diarahkan dalam rangka mewujudkan
kehidupan manusia baik laki-laki maupun perempuan secara personal maupun
sosial. Yang sehat secara rohani dan jasmani. Keduanya merupakan syarat bagi
tercapainya suatu kehidupan yang sejahtera di dunia maupun di akherat. Perkawinan
yang dianjurkan oleh Islam bermaksud sebagai cara sehat dan bertanggung jawab
mewujudkan cinta dan kasih antara laki-laki dan perempuan. Ini secara jelas
dinyatakan dalam Al-Quran dalam surat Ar-Rum 30:21 yang artinya sebagai
berikut:
Dan
diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Dengan
landasan cinta dan kasih tersebut sistem kehidupan yang dijalani suami istri
dalam rumah tangganya harus pula dilalui dengan proses-proses yang sehat.
Cara-cara yang sehat dalam relasi suami istri dalam kehidupan perkawinan tersebut
harus dilakukan dengan sikap saling memberi dan menerima secara ikhlas, saling
menghargai, saling memahami kepentinan masing-masing tanpa paksaan dan tanpa
kekerasan. Ini juga berarti bahwa hubungan seksual tidak boleh dilakukan
melalui cara-cara pemaksaan dari siapapun datangnya. Wahbah az-Zuhaili
mengatakan bahwa keharusan istri melayani keinginan suami itu dapat dibenarkan
kecuali dalam keadaan sedang mengerjakan kewajiban yang tidak bisa
ditinggalkan. Penolakan istri juga
dibenarkan apabila dia merasa akan dizalimi suaminya. Ini berdasarkan Al-Quran
surat Al-Baqoroh 2:228 yang artinya;
Dan
mereka (perempuan/ istri) berhak mendapatkan perlakuan baik seperti
kewajibannya (memperlakukan suami).
Hak perempuan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan juga berlangsung pada saat dia hamil. Bahkan dalam kondisi
ini perhatian suami atas kesehatan istrinya menjadi sangat penting. Al-Quran
telah menyatakan secara jelas bahwa perempuan hamil berada dalam kondisi yang
sangat lemah bahkan pada saat menjelang melahirkan keadaannya tambah berat.
Begitu beratnya pengorbanan perempuan melahirkan, sampai Nabi SAW menyatakan
bahwa dia akan menjadi syahid dan dijamin masuk syurga bila kematian akibat
melahirkan itu benar-benar terjadi. Hasil-hasil penelitian para ahli
kependudukan menyatakan bahwa komplikasi kehamilan dan persalinan benar-benar
merupakan pembunuh utama dari kaum wanita usia subur. Keadaan ini seharusnya
menyadarkan semua pihak untuk memberikan perhatian yang serius atas kesehatan
perempuan yang sedang hamil. Ia tidak boleh membiarkan penderitaan itu di
pikulnya sendiri. Atas dasar itu hak perempuan untuk menolak kehamilan juga
merupakan hal yang logis dan sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh, terutama oleh suami. Demikian juga dalam hal menentukan jumlah
anak yang diinginkannya. Mayoritas ulama fikih menyatakan bahwa anak adalah hak
bapak dan ibunya secara bersama-sama. Dengan demikian perempuan berhak pula menentukan
kapan mempunyai anak dan berapa jumlahnya.[1] Dalam pandangan aktivis ormas Islam bahwa
berusaha menentukan jumlah anak merupakan prilaku yang secara normatif
dibenarkan. Hal senada juga ditegaskan Chairiah seorang ketua Nasyiatul Asyiyah
Kalimantan Selatan. Ia mengungkapkan, “Menentukan jumlah anak oleh istri
diperbolehkan , sejauh merencanakan bukan menentukan. Mengenai jumlah anak ini
harus direncanakan secara bersama-sama,baik oleh suami maupun istri.” Rata-rata
perempuan muslim Indonesia setuju jumlah anak ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara suami dan istri. Yang mungkin masih kontraversi adalah
dengan cara apa jumlah anak itu ditentukan atau dengan alat kontrasepsi apa
jumlah anak dikendalikan. Dalam masalah ini, sepenuhnya pendapat kalangan
perempuan muslim masih merujuk pada keputusan-keputusan ulama soal keluarga
berencana (KB).[2]
Dan apabila istri menolak untuk hamil dengan cara KB. Istri berhak menentukan
alat kontrasepsi apa yang sesuai dengan dirinya. Ia berhak mendapatkan
keterangan tentang jaminan kesehatan alat kontrasepsi yang akan dipilihnya.
Tentunya pihak-pihak kesehatan berkonsekuensi untuk menyampaikan tentang alat
kontrasepsi itu secara jujur.
Islam sebagaimana dipahami dan di
tafsirkan oleh Masdar F, Masudi menegaskan bahwa hak-hak reproduksi itu harus
dijamin pemenuhannya berkaitan dengan tugas-tugas reproduksi yang diemban oleh
kaum perempuan. Hak-hak reproduksi secara kualitatif seimbang dengan hak-hak
yang dimiliki oleh kaum laki-laki sebagaimana pengemban fungsi produksi (
Al-Baqoroh: 228). Hak-hak reproduksi itu meliputi:
1. Hak
jaminan keselamatan dan kesehatan
Hal ini utlak mengingat
resiko yang ditanggung kaum perempuan dalam menjalankan tugas-tugas
reproduksinya. Mulai dari menstruasi, berhubungan seks, mengandung, melahirkan
dan menyusui.
2. Hak
jaminan kesejahteraan
Jaminan ini disamping
berlangsung selama proses-proses vital reproduksi (mengandung, melahirkan,
menyusui) juga berlangsung di luar itu yaitu berkaitan dengan statusnya sebagai
istri atau ibu.
3. Hak
untuk ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan khususnya
yang menyangkut reproduksi (Al-Syura: 38) .[3]
Dalam
hal kehamilan dan kelahiran Islam memandang sangat empirik terhadap
penderitaaan perempuan , terutama saat melahirkan. Tidak ada satu ayat di
Al-Quran pun yang melukiskan peristiwa kemanusiaan sepenting ayat tentag
kehamilan dan kelahiran. Dalam surat Luqman: 14, Allah berfirman, Kami perintahkan kepada manusia untuk
(berbuat baik) kepada kedua orangtuanya; Ibunya telah mengandung dalam keadaan
lemah diatas lemah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu
dan kepada bapak ibumu , hanya kepadaKu lah engkau kembali. Ayat ini
meggambarkan betapa kehamilan dan kelahiran sebagai proses reproduksi perempuan
begitu beratnya sehingga Allah menggunakan istilah yang bernama ta’kid
(penguatan). Tugas yang sangat berat inilah yang menyebabkan kepantasan apabila
fikih Islam mendudukkan perempuan demikian pentingnya. Tidak hanya itu, fikih
juga memberikan keringanan-keringanan yang tidak diberikan kepada orang
selainnya. Misal ketika sedang mengandung, ibu diperkenankan tidak puasa demi
menjaga kesehatan reproduksinya meskipun kemudian membayar qadla’. Bahkan fikih tidak menuntut membayar kifarat apabila
alasannya didasarkan pada kesehatan ibu semata.
Dalam kasus yang
lain , hak perempuan sebagai ibu yang menyusui juga sangat diperhatikan oleh
fikih islam. Sebenarnya menyusui atau tidak itu menjadi hak ibu, bukan
kewajiban sebab yang berkewajiban menyusui anak adalah ayah. Artinya apabila
kewajiban ayah tidak bisa dilaksanakan itu adalah dosa. Untuk itu menurut
madzhab Maliki susu bisa diperjualbelikan. Kalau istri menuntut bayar atas
tugas menyusui anak kepada suami, itu adalah sah menurut fikih. Walaupun
menurut budaya jawa hal itu tidak dibenarkan. Akan tetapi tampaknya di dunia
ini tidak ada seorang ibu pun yang tega menjual air susunya untuk anaknya
sendiri.[4]
Disebutkan
dalam sumber lain disebutkan bahwa kesetaraan dan keadilan gender dalam
kesehatan reproduksi antara lain:
1)
suami dan isteri mencari informasi tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi
pada
tempat
pelayanan kesehatan dan petugas yang berwenang.
2)
suami dan isteri saling membantu dalam memenuhi kesehatan seluruh anggota keluarga.
3)
suami dan isteri secara bersama bertanggungjawab dalam menghindari diri dari
penyakit infeksi
menular seksual (IMS) termasuk HIV dan AIDS.
4)
suami dan isteri perlu memeriksakan kesehatan reproduksinya pada kasus
infertilitas sehingga dapat dicarikan jalan keluarnya dengan tepat.
5)
suami dan isteri perlu mengetahui usia terbaik bagi perempuan untuk hamil dan
melahirkan.
6)
suami dan isteri perlu mengetahui tanda-tanda kehamilan serta kehamilan yang
berisiko.
7)
suami dan isteri mengetahui dengan benar tentang tanda-tanda bahaya kehamilan
yang berdampak pada ibu dan janinnya.
8)
suami dan isteri memperhatikan gizi yang baik bagi ibu dan janin.[5]
IV.
KESIMPULAN
Perkawinan yang
dianjurkan oleh Islam bermaksud sebagai cara sehat dan bertanggung jawab
mewujudkan cinta dan kasih antara laki-laki dan perempuan. Wahbah Az-Zuhaili
mengatakan bahwa keharusan istri melayani keinginan suami itu dapat dibenarkan
kecuali dalam keadaan sedang mengerjakan kewajiban yang tidak bisa
ditinggalkan. Penolakan istri juga
dibenarkan apabila dia merasa akan dizalimi suaminya. Ini berdasarkan Al-Quran
surat Al-Baqoroh 2: 228.
Dalam hal kehamilan dan kelahiran Islam
memandang sangat empirik terhadap penderitaaan perempuan , terutama saat
melahirkan. Tidak ada satu ayat di Al-Quran pun yang melukiskan peristiwa
kemanusiaan sepenting ayat tentag kehamilan dan kelahiran maka dari itu perempuan
berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga berlangsung pada saat dia
hamil atau melahirkan berkaitan dengan hal ini perempuan berhak pula mentukan
kapan mempunyai anak dan berapa jumlahnya. Dalam pandangan aktivis ormas Islam
bahwa berusaha menentukan jumlah anak merupakan prilaku yang secara normatif
dibenarkan. Hal senada juga ditegaskan Chairiah seorang ketua Nasyiatul Asyiyah
Kalimantan Selatan. Ia mengungkapkan, “Menentukan jumlah anak oleh istri
diperbolehkan , sejauh merencanakan bukan menentukan. Mengenai jumlah anak ini
harus direncanakan secara bersama-sama,baik oleh suami maupun istri.”
Dan dalam hal menyusui merupakan hak
seorang ibu dan kewajibannya seorang ayah. Artinya apabila kewajiban ayah tidak
bisa dilaksanakan itu adalah dosa. Untuk itu menurut madzhab Maliki susu bisa
diperjualbelikan. Kalau istri menuntut bayar atas tugas menyusui anak kepada
suami, itu adalah sah menurut fikih.
Hak-hak reproduksi itu meliputi: hak jaminan
keselamatan dan kesehatan, hak jaminan kesejahteraan, hak untuk ikut mengambil
keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan khususnya yang menyangkut
reproduksi (Al-Syura: 38).
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat saya sajikan. Tentunya masih banyak kekurangan serta
kesalahan. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan
demi kebaikan makalah saya selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua
DAFTAR
PUSTAKA
Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta:
LkiS, 2011
Ismatu
Jamhari Ropi, Citra Perempuan dalam
Islam, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003
Hasyim
Syafiq , Manakar Harga Perempuan,
Bandung: Mizan, 1999
http://mell-benu.blogspot.com/2012/06/hak-reproduksi-perempuan-dalam-kerangka.html
[1] Muhammad
Husein, Fikih Perempuan (Yogyakarta:
Lkis, 2011), hlm. 94-96
[2] Jamhari Ismatu Ropi, Citra Perempuan dalam Islam, ( Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 161-162
[3] Ibid, hlm. 153
[4]
Syafiq hasyim, Manakar Harga Perempuan,
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 116-117
[5]
http://mell-benu.blogspot.com/2012/06/hak-reproduksi-perempuan-dalam-kerangka.html
0 komentar:
Posting Komentar