Seperti karang di lautan yang tak kan goyah diterjang ombak. Itulah
yang menjadi motivasiku untuk tetap bertahan sekolah. Aku adalah anak pantai
yang suka bermain layang-layang atau sekedar membaca kehidupan lewat deburan
ombak, perahu, atau nelayan. Jika dipikirkan kehidupan ini begitu kejam.
Terkadang kita harus diam ditindas hanya gara-gara status sosial. Kebenaran
bisa dibeli dengan uang.
Namaku Edo, aku anak tunggal dari emak dan bapak. Emakku adalah
seorang penjual ikan teri di pasar Jatisari. Hasil dari bapakku berlayar di
lautan. Setiap pagi sehabis subuh emakku dengan semangat menggendong dunaknya
lalu berjalan beberapa meter dari rumah menuju pasar untuk berdagang. Aku
merasa iba dengan emakku yang sudah tua masih saja berdagang untuk membiayai
kehidupan kami sehari-hari. Aku ingin sekali membantu emak dengan berhenti dari
bangku sekolah tapi emak selalu bilang, “Mau jadi apa kalau kamu tidak sekolah?
Mau jadi seperti emak?”
Itu yang selalu emak bilang kepadaku bahwasanya apapun yang terjadi
aku tidak boleh putus sekolah. Kali ini aku menduduki bangku SMA kelas X11 IPS.
Aku memilih jurusan IPS karena aku ingin melanjutkan kuliah jurusan ekonomi
mengingat cita-citaku menjadi seorang Businessman.
Aku ingin membahagiakan kedua orangtuaku terutama emakku yang sudah susah payah
membiayai sekolahku. Bapakku seorang nelayan namun hasilnya tidak pernah
diberikan kepada emak. Dia suka main wanita, judi dan terkadang berbuat kasar
kepada emak.
Hanya ikan-ikan kecil yang sampai kepada emak lalu emak
berinisiatif untuk menjualnya yang hasilnya tidak seberapa. Dulu kami adalah
orang yang kaya di kampung Jatisari. Dengan kapal-kapal bapak peninggalan dari
simbah kakung tapi perlahan ludes karena kelakuan bapak. Bagiku judi adalah
perbuatan terkutuk yang membawa kemelaratan. Dari judi itulah harta peninggalan
mbah kakung habis. Emak pun tidak berani dengan bapak karena sikapnya yang
kasar membuat emak lemah menghadapi bapak.
Meskipun demikian emak tidak pernah mengeluh, ia senantiasa
memperlihatkan ketegarannya di depanku meski aku sering melihat emak menangis
usai salat. Terkadang aku begitu benci dengan kehidupan. Mengapa aku tidak
seberuntung teman-temanku? Yang hidup dalam keluarga harmonis tanpa beban
sedikitpun. Hanya karang di lautan yang
membuatku terus bangkit. Ia tak kan goyah dan hancur diterpa badai dan ombak. Seperti
emakku yang tetap tegar dan senantiasa tersenyum indah meskipun aku tau dibalik
senyumnya menyimpan beban yang teramat dalam.
Dari mulai SD aku sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah yang
biasanya dikerjakan oleh perempuan. Seperti menyapu, mencuci piring, mencuci
baju bahkan masak. Aku senang melakukannya. Sebelum sekolah semua
pekerjaan-pekerjaan itu sudah selesai aku lakukan kemudian aku baru berangkat
dengan sepeda tuaku. Meskipun jaraknya jauh, tapi aku tetap mengayuh sepeda
mengingat ekonomi keluargaku yang tidak memungkinkan memberiku saku untuk biaya
angkot.
Dari SD aku sudah terbiasa hidup sederhana. Tidak pernah saku
sepeserpun setiap pergi sekolah. Seragamku pun lusung karena pemberian dari
tetanggaku yang sudah tidak dipakainya. Untungnya aku selalu mendapat juara
satu pararel jadi masalah SPP sudah ditanggung pihak sekolah. Kegiatan
sehari-hariku serasa monoton tidak ada yang menarik. Tidak seperti
teman-temanku yang dengan asyik nongkrong, pacaran dan pergi rekreasi.
Sementara aku hanya sekolah lalu membantu emak dan belajar. Bagiku pantai cukup
membuatku damai. Disitulah aku bisa membaca kehidupan.
Detik-detik UN semakin mendekat. Aku pun sibuk belajar. Aku ingin
seperti hari kemarin yang bisa membantu emak tapi emak melarangku dan
menyuruhku fokus terhadap sekolahku. Sebenarnya aku sedih melihat emakku yang
bekerja keras demi keluarga ini. Kapan bapakku sadar bahwa dialah kepala
keluarga yang seharusnya mengayomi keluarganya bukan membiarkan sengsara.
Seperti emakku yang setiap pagi harus mengerjakan pekerjaan domestik lalu
bekerja untuk menghasilkan finansial.
Teman-temanku sudah mulai ricuh membahas bangku perkuliahan.
Sementara aku hanya terdiam. Aku sudah merasa putus asa untuk kuliah kecuali
beasiswa bidikmisi kudapatkan. Mengingat nilai raportku yang setiap tahunnya
naik dan rata-ratanya pun cukup memuaskan. Usai UN semua teman-temanku
disibukkan oleh pendaftaran-pendaftaran kuliah. Ada yang daftar melalui jalur
SNMPTN, ada yang jalur regular, ada yang melalui jalur SPMB-PTAIN dan bidimisi.
Aku pun tidak tau apakah aku bisa kuliah atau tidak. Yang pasti aku selalu
berdoa kepada Allah agar aku bisa meraih cita-citaku.
Dengan segala usahaku selama ini aku hanya bisa pasrah. Nilai ujian
nasionalku cukup memuaskan. Rata-rata 9,0. Dengan nilai hampir sempurna aku
berharap ada yang membiayaiku untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
yaitu kuliah. Akan selalu ada pelangi disetiap badai, senyum disetiap airmata, berkah
disetiap cobaan dan jawaban disetiap doa. Aku mendapat beasiswa bidikmisi di
salah satu kampus ternama di Indonesia. UGM. Ya… Aku bersyukur bisa masuk UGM dengan
gratis. Tanpa membebani emakku. Emakku pun tersenyum senang. Memelukku erat,
saat melepaskanku menuju kota pelajar. Kebahagiaan yang disertai linangan airmata
kini kurasakan. Bagaimana emak jika aku tinggalkan sendiri? Hidup sebatang kara
dengan bapakku yang pulang seminggu sekali tanpa mempedulikan emak.
Akupun diselimuti kebimbangan untuk menginjak kota Jogja. Namun
emakku tersenyum sembari memberikan motivasinya kepadaku bahwa hidup adalah
pilihan. Disetiap pilihan ada konsekuensi tersendiri. Emak menasehatiku dengan
pituturnya yang lembut. Membangkitkan semangatku sehingga aku yakin bahwa aku
memilih kuliah untuk meraih cita-citaku. Aku ingin membahagiakan emak.
Mengajaknya keliling kota mengendarai mobil pribadiku, mempunyai rumah megah
dan membiayai emak untuk ibadah haji ke baitullah. Semangatku terus berkobar
dan aku sujud di kaki emak memohan doa dan restunya agar cita-citaku bisa kugapai
dengan mudah.
Kini aku sudah menjadi seorang mahasiswa. Dalam kehidupan kampus
aku mempunyai tiga orientasi yaitu nilai akademik, aktifis kampus serta
bekerja. Aku begitu sibuk dengan ketiga kegiatanku. Bahkan aku hanya tidur tiga
jam dalam sehari semalam. Aku harus benar-benar ekstra dalam memanfaatkan waktu
dan tenagaku. Aku tidak pernah punya waktu untuk sekedar santai. Mengingat
emakku di kampung yang bekerja keras membuatku pilu. Aku sangat menyayangi emak
yang telah berjuang dengan jiwa raganya melahirkanku, membesarkanku dan
mendidikku.
Sungguh emak adalah orang yang paling mulia. Maka dari itu semua
orang menyebut bahwa surga itu berada di telapak kaki ibu. Adakah kasih sayang
suci seseorang yang melebihi kasih sayang ibu terhadap anaknya? Emak… Emak… Aku
merindukanmu. Bagimana kabarmu mak? Sudah 3 bulan ini aku tak juga pulang
mengingat biaya transfortasi yang menurutku mahal. Penghasilanku tak seberapa
dan itu juga aku sisihkan untuk menabung.
Ketika kita tak mampu berada di atas maka tengoklah ke bawah saat
itu juga kita akan selalu bersyukur. Demikianlah pesan emak kepadaku bahwa
hidup ini adalah proses bagaimana kita memperjuangkannya. Aku masih bisa kuliah
dan makan meskipun hanya dengan krupuk. Itu hanyalah proses berjuang dimana
jika kita kuat maka kita akan menjadi orang hebat. Aku yakin Allah akan
mengabulkan doa hambanya yang senantiasa mau berusaha. Hari-hari terus berlalu.
Jam begitu cepat berputar. Sehari serasa kayak satu menit. Itulah yang selalu
kurasakan. Aku selalu merasa kurang dengan waktuku untuk mencoba hal-hal yang
baru.
Tak terasa tiga tahun telah terlewatkan. Semester depan aku wisuda.
Aku akan membawa emak dan bapak ke Jogja. Untung lah aku selalu menyisihkan
uang untuk menabung jadi saat-saat seperti ini tak perlu meminta kepada emak.
Menyewa mobil untuk pemberangkatan emak dan bapak menghadiri wisudaku nanti.
Aku ingin melihat emakku tersenyum bahagia dan bangga memiliki anak sepertiku.
Meskipun emak hanya penjual teri di pasar tapi memiliki anak yang cerdas serta
patuh terhadap orangtua.
Dalam penyerahan ijasah sarjana aku ditemani emak dan bapak. Aku
sangat bersyukur hari itu juga aku mendapat penghargaan dari dosen waliku
karena IPK-ku mencapai 4,0. Emakku menangis sesunggukkan tanpa berkata-kata.
Sementara bapakku hanya terdiam namun dari wajahnya aku bisa membaca bahwa
bapak bangga kepadaku. Kemudian bapak memelukku. Saat itulah menurutku
merupakan sejarah yang perlu aku catat. Bahwa bapak bersedia memelukku. Yang
aku rasakan bukan lagi bangga atas IPK-ku . Tapi aku merasakan keluarga yang
utuh penuh dengan keharmonisan.
Sementara itu aku bertekad untuk kembali ke Jatisari mendirikan
lapangan pekerjaan di sana karena banyak hasil laut yang seharusnya bisa
dikelola sendiri. Banyak pemuda di sana yang pengangguran kemudian merantau ke
negri orang untuk mendapat pekerjaan. Aku berniat mendirikan usaha teri.
Membuat keripik teri dengan dikemas istemewa lalu diperjual belikan. Dengan
keyakinan yang mantap aku mulai mencobanya. Melihat perkembangannya aku semakin
yakin bahwa aku harus mendirikan bangunan untuk pabrik keripik teri. Lalu aku
mulai mempunyai karyawan. Begitu seterusnya hingga usahaku besar dan dikenal
semua orang.
Kini tak lagi rumah reot yang aku tinggali demikian juga emak dan
bapak. Aku membangun rumahku yang reot menjadi rumah yang megah. Terdapat
parkir mobil pribadi di samping rumahku. Ada gerbang tinggi sebelum masuk
rumah. Ada taman yang disertai kolam ikan, air mancur dan tanaman-tanaman hias
yang sangat cantik. Beberapa bonsai yang ku tempatkan di sudut-sudut taman dan
lampu pelangi agar suasana malam semakin indah saat lampu bergantian mati dan
menyala. Kami bertiga pun sudah mendaftarkan diri untuk pergi haji. Kini
cita-citaku telah tercapai.
Aku kembali melihat pantai. Aku menatap karang di tengah lautan. Ia
tetap tegar diterjang badai ataupun ombak. Aku banyak belajar tentang laut.
Dari laut aku berasal pun aku akan kembali pada laut. Semua ini karena Allah
dan emak. Allah telah menjawab doa-doaku dan emak yang telah memberikan separuh
hidupnya untukku. Emak… Sungguh engkaulah cahaya hidupku. Tanpamu aku tak akan
ada di dunia mak.. Kasih sayangmu yang lembut mengalahkan sutra. Pituturmu yang
bijaksana dan motivasi yang selalu engkau berikan untukku sungguh istimewa.
Emak, engkaulah wanita yang paling beharga dalam hidupku. Kini aku
mempunyai cita-cita besar yaitu membangun kampung Jatisari agar masyarakatnya
hidup makmur. Tidak ada pengangguran dan tidak ada rendahnya tingkat
pendidikan. Namun aku ingat bahwa setiap keinginan mempunyai konsekuesi. Konsekuensinya
adalah bagaimana aku harus berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkan cita-citaku
itu.
Hidup adalah proses terkadang kita harus melewati bebatuan terjal
untuk mendapatkan sesuap nasi. Itulah hidup, saat kita berproses dengan baik
dan perpegang pada cita-cita maka kita akan senantiasa berjuang untuk
meraihnya. Saat semua sudah kita genggang, kita akan merasakan kemenangan.
Menghapus keringat kelelahan dengan rasa puas.
By:
Fioni