Blogroll

Sabtu, 22 September 2012

Dalam Lembah Penantian



           Hanya satu nama yang kan selalu kujaga hingga malaikat datang membawa sukmaku terbang.
 Di temani semilir angin di siang hari ini aku ingin bernostalgia bersama kenanganmu. Bersama kebahagiaan yang pernah kau berikan dalam hidupku, bersama luka yang telah kau ukir dalam tulusnya hatiku. Hingga kau buat hidupku laksana pelangi yang berwarna-warni. Kisah cinta yang dulu aku banggakan kini  hanya tinggal igauan.  
Oh...Fahri taukah kamu? Diam-diam kala cahaya telah menyala hingga dunia menjadi terang ku curi wajahmu dengan ketakutan mataku .Memandangmu sejenak cukup sebagai obat rindu yang telah lama membara. Hingga senja datang kuakan tiba dimana tempat permainanmu. Aku akan menatap wajahmu dengan penuh kasih lalu kusimpan di hati yang paling dalam. Kemudian jika malam telah tiba, kuputar kembali apa yang telah aku lihat. Lukisan wajah nan memikat yang pernah aku miliki kini telah pergi bersamaan datangnya pedih dalam hati. Aku tetap menantimu hingga pagi menyala menerangi dunia, hingga senja bergulat menjadikan dunia hitam dan sebelum pangeran itu datang membawaku terbang selamanya aku tetap menunggumu.
Ternyata bukan cuma Qois saja yang mempuyai kisah cinta yang malang. Kisah cintanya bersama Laila yang menjadikan ia gila hingga semua jazirah arab menjulukinya dengan nama majnun..Mungkin saja aku sudah gila karena cinta sehingga aku merasa ada sesuatu yang beda  pada diriku sendiri. Aku selalu melakukan apa yang tidak pernah aku lakukan. Aku benar-benar telah kehilangan diriku sendiri. Seakan diri ini menjelma menjadi orang lain, orang yang tak pernah kukenal. Tapi aku tidak terlalu mempedulikan hal itu. Menurutku cinta itu anugrah dan aku akan selalu merawatnya,memupuknya dengan sejuta kasih yang aku miliki meski hakekatnya tamanku telah tandus. Bunga-bunga itu telah kering yang kemudian gugur dan hilang diterpa angin. Aku sadar akan kenyataan pedih ini. Kenyataan bahwa ia bukan lagi milikku tapi apakah aku salah ketika aku merinduknnya? Rindu hadirnya ia di sampingku, rindu akan senyum yang selalu terurai dari bibirnya ketika berjumpa denganku, rindu akan setiap desis nafas yang berlafadzkan cinta yang ia ucapkan padaku, rindu tatapan indah yang di dalamnya aku temukan ketulusan. Semua telah hilang karena berahirnya hubungan dan sekarang rindu menjadi beban yang  membawaku dalam keterpurukan.
                                                            ***
            Sebenarnya aku tak ingin pagi ini kembali datang. Pagi yang cerah namun hatiku selalu gundah. Aku takut berjumpa dengannya meski dicelah hati yang sempit ada secuil rasa bahagia. Tiba-tiba aku melihat dia tengah duduk bersama teman-temannya. Ia sibuk dengan Hp yang berada di tangannya. Sesekali ia tertawa kecil mendengar guyonan dari teman-temannya. Aku pun ikut tersenyum melihatnya, seakan kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Tapi kali ini hatiku benar-benar hancur. Dia berjalan menuju parkir dan mataku terus mengintainya, mengawasi setiap gerak yang di lakukannya. Ia memboncengkan cewek. Cewek itu cantik, aku pun mengaku kalah dengannya. Nampaknya wajah cewek itu tidak asing lagi tapi entah siapa aku pun lupa. “ Ah, emang gue pikirin” kataku seketika, kemudiaan aku membalikkan badanku menuju kelas I.9 karena waktu telah menunjukkan pukul 9. 40. Ada jadwal mata kuliah Bahasa Indonesia pada jam itu. Ternyata sudah dosennya dan aku mengikuti proses belajar dengan baik. Tapi apa yang terjadi pada diriku? Sudah satu jam dosen menerangkan tentang konsep bahasa indonesia yang baik dan benar tapi tak satu pun kalimat yang aku pahami dari penjelasan dosen tadi. Pikiranku melayang terbang menyimpan beribu-ribu tanda tanya tentang siapa cewek yang diboncengkan Fahri tadi? Ada hubungan apa cewek tadi dengan Fahri? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya tentang mereka yang tengah memenuhi otakku. Andai waktu bisa di putar kembali aku tidak akan pernah mengulangi kesalahan itu. Langit yang semula biru kini telah berganti mejadi senja. Inilah yang aku tunggu, kala malam telah datang aku akan kembali melukis wajahnya dalam anganku. Memandang fotonya dalam monitorku. Bertemankan bintang dalam heningnya malam. Ku kisahkan sebuah cerita  dalam buku kesayanganku. Aku mulai menarikan pena di atas kertas kemudiaan kuawali dengan menuliskan kalimat basmallah. Mengabadikan semua kisah kita dalam sebuah buku diaryku meski ku sadari kisah kita telah usang dimakan waktu. Kisah yang hanya tersisa butiran-butiran airmata ketika api kerinduan dan kecemburuan terus berkobar. Kisah yang kini menjadi sejarah yang indah bila dikenang dan terasa sakit jika dipikirkan. Oh cinta...mengapa kau tak jua pergi bersama dia yang telah pergi meninggalkanku dalam kehampaan? Mengapa kau tetap bertahan dan masih bersemayam dalam hati yang dirundung kepayahan?
                                                            ***
            Mendung semakin menepis, awan pun telah pudar  menjelma menjadi hitam pekat. Sesekali terlintas cahaya kilat dengan suara  menggelegar membelah dunia. Perlahan titik-titik air mulai turun dan angin berdesis kencang menyapu dedaunan kering yang berada di taman Fakultas. Dedaunnan-dedauanan, sampah-sampah dan benda-benda ringan lainnya terus melayang tak terarah. Angin semakin kencang hingga pohon-pohon besar ikut menari dibawanya. Nyiur hijau pun tak mau kalah, ia terus melambai-lambai dan tubuhnya terpontang-panting mengikuti arah angin yang berhembus. Sedari tadi aku hanya berdiam diri terpaku dan membisu. Tapi ada satu kejadian yang membuat hatiku sembilu. Ketika mataku melirik ke kanan aku melihat mawar kesayanganku rapuh. Tangkainya patah. Bunga yang berada di pinggiran jalan perbatasan fakultas dakwah dengan fakultas syariah. Bunga yang selalu aku  nikmati dengan keindahannya serta keharumannya ketika aku tengah lari-lari sore. Sungguh tak kuasa hati ini melihatnya. Perlahan aku mulai menghampirinya, ikut berduka atas kejadian yang tengah menimpanya. Tak aku pedulikan derasnya hujan disaat itu, tak juga aku pedulikan kilatan petir saat itu. Aku terus menunduk seakan deritanya  itu adalah deritaku. Memandangnya hingga butiran-butiran airmataku menetes. Aku terus membisu seribu kata, dan tak ada satu kalimat yang ingin aku ucapkan. “ Nanti kau bisa masuk angin” suara lelaki dibelakangku yang saat itu mengayomiku dengan payung warna ungu. “Biarkan saja” kataku tak memperhatikan lelaki itu. “Air hujan adalah embun penyejuk jiwaku, mata air yang telah lama aku nanti. Sekedar penyegar dagaha yang lara. Basahlah wahai tamanku dan mekarlah wahai bungaku. Jangan kau menangis” begitu ucap lelaki itu. Aku mulai sadar, lelaki yang ada dibelakangku itu Fahri. Terdengar puisi yang dulu ia persembahkan untukku. Oh...benarkah itu dia tuhan? Atau saat ini aku hanya hidup dalam mimpi-mimpi semu? Ku tolehkan wajahku ke belakang, “Fahri?” ucapku setengah tidak percaya. Ada segelintir perasaan bahagia. Aku termenung beberapa saat, kemudian ia kembali berkata hingga membuat lamunanku pudar. “ Di sini hujan nanti kamu bisa sakit”. “Peduli apa kamu dengan kondisiku” jawabku ketus. Ya Allah...apa yang telah aku ucapkan tadi pada Fahri? kata batinku. Sejenak kami terdiam hingga akhirnya Fahri pergi meninggalkanku. Aku tercengang beberapa saat, hingga aku kembali menangis disertai perasaan ngilu yang teramat pedih. Hingga  terasa tercekat ditenggorokanku. Tiba-tiba kepalaku penat, pandanganku mulai gelap. Fahri benar-benar telah melupakanku, pikirku.
                                                            ***
            Kejadian kemarin benar-benar membuatku gundah. Rasa penyesalan terus melintas dalam angan. Ingin aku meminta maaf pada dia tapi aku malu. Aku takut, entah apa yang aku takutkan pada dia. Hari ini terasa ada sesuatu yang menganjal dalam hatiku. Mentari bersinar terang bersembunyi dibalik pepohonan mangga yang berada di pekarangan rumahku. Aku tengah duduk menikmati sang surya karena kehangatannya. Aku merenung sejenak, bagaimana aku bisa membuat Fahri kembali lagi padaku? Pertama aku akan mengoreksi diriku sendiri tentang hal-hal yang tidak disukai Fahri hingga aku akan merubah sesuatu itu menjadi hal yang ia sukai. Aku tau satu hal yang tidak ia sukai dariku, tentang penampilanku. Hal itu yang terkadang membuat kami bertengkar. Point kedua tentang sikap aku yang selama ini suka malas-malasan dan aku akan merubahnya menjadi cewek yang aktif dengan mengikuti bermacam-macam kegiatan.
“ Cha, hari ini kamu nggak ada kuliah?” tanya kak Riko, kakak kandungku.
“Kuliah kak, tapi masuk siang” jawabku singkat dan sedikit lemas setelah mendengar kata-kata kuliah. Itu berarti nanti aku akan bertemu dengan Fahri, apa yang harus aku lakukan tuhan? Jika nanti aku bertemu dengannya?
“Gimana Cha ? jadi menikah semester 5 nanti?” tanya kak Riko dengan ekspresi sedikit menahan tawanya. Kali ini aku hanya diam, 2 bulan lalu ketika kita masih pacaran kami memang berniat untuk menikah di semester besok. Hal itu kami rencanakan agar sesudah menikah nanti kami bisa menjadi pasangan yang resmi dan halal untuk menyentuh satu sama lain. Karena di lingkungan keluargaku istilah pacaran masih menjadi hal yang sangat tabu. Terkadang aku juga pengen disentuh Fahri, sekedar menggandeng tangan ketika kami tengah jalan berdua. Lain halnya dengan teman-teman kampusku yang tak lupa cipika cipiki ketika berjumpa dengan kekasih mereka. Terkadang aku juga iri tapi disisi lain aku masih takut dengan dosa. Aku adalah gadis yang baru pertama kali pacaran. Aku selalu berharap semoga dia yang terahir tapi apa lah daya tangan tak sampai.
            Jam menunjukkan pukul 8.00. Aku sengaja berangkat lebih awal dari jadwal jam kuliahku karena hari ini aku ingin berkunjung di perpustakaan Institut. Seperti yang tengah aku rencanakan tadi, aku akan jadi cewek yang cerdas, rajin dan disiplin. Setidaknya sering membaca buku adalah awal dari rencanaku itu. Pagi itu aku berjalan menyusuri trotoar dengan langkah gontai kemudian sampai di pintu perpustakaan aku melihat Fahri, demikian juga Fahri yang sempat melihatku. Astagfirullahhala’dzim dia membuang muka ketika sejenak melihatku. Tatapannya sinis seakan menandakan kebencian. Aku tersenyum kecut tapi ia tak membalas senyum dariku. Tersirat diwajahnya ada sedikit keraguan dan dalam matanya aku temukan kegalauan. Mungkin aku harus melupakan dia, pikirku. Kali ini aku berjalan menuju kelas dengan temanku Virli.
“Tau nggak kemarin aku melihat Fahri kencan sama Leli lho”
“Terus? Masalah buat gue?” jawabku sok tidak peduli padahal jauh dalam lubuk hatiku terasa sakit, kecemburuan itu terus mengobar hingga membakar jiwaku.
“ Ya...” belum sempeat Virli meneruskan penjelasannya aku terlebih memotongnya dengan mengalihkan pembicaraan lain.
“Eh, aku dapat sms dari komting nih, katanya udah ada dosennya” kataku sembari menggenggam Handphone yang ada ditanganku.
                                                            ***
            Waktu terus berputar, sudah 8 bulan ku lalui hari-hariku tanpa Fahri. Bahkan sekedar saling menyapa dan menanyakan kabar satu sama lain tak pernah kami lakukan. Sedari tadi tanganku memainkan Blacberry. Ingin sekali rasanya aku mengirimkan pesan kepada dia sekedar mengucapkan “Assalamualaika ya ahi?” tapi aku ragu. Perasaan gengsi itu kembali muncul melekat dalam diriku. Aku memang gadis yang tidak suka mengawali dalam hal demikian. Bahkan ketika aku masih pacaran dengan Fahri aku tidak pernah kirim sms duluan sebelum ia terlebih dulu mengirimkan pesan untukku. Ku buka buku kesayanganku bewarna merah jambu yang selalu aku letakkan di dekat kipas angin milikku. Aku mulai membacanya dari halaman ke halaman. Pagiku terasa kelabu tanpa senyum yang kau sunggingkan untukku, aku merindukanmu kekasih, mengapa kau pergi tinggalkanku saat cinta ini mulai merekah dengan indah? Sungguh kepergianmu menancapkan lara dalam hatiku. Aku masih disini menantimu kekasih. Aku pergi menuju suatu tempat berniat mengadu atas perasaan yang tengah menggelanyut dalam hati. Meluapkan segala tangis yang aku simpan. Di tengah ilalang aku merenung sejenak, pandanganku menunduk  suasana di tempat itu memang sunyi tak ada seorang pun yang mungkin mau singgah di tempat ini. Padahal menurutku tempat itu sangatlah indah. Tempat itu adalah ruang imajinasiku. Tempat dimana ku rangkai syair-syair tentang Fahri. Tempat yang beralaskan tanah dan beratap langit luas seakan membuatku merasa bebas dari belenggu-belenggu nestapa. Tempat yang hanya bertemankan ilalang dan nyanyian burung yang berkicauan. Ku putar lagu-lagu Sonia di mp4 milikku. Aku benar-benar menikmati syair-syair lagunya dan musiknya khas melayu. Sungguh terasa enak di dengarkan. Ku pejamkan mataku dan membiarkan angin meraba tubuhku. Suasana seperti ini harusnya aku pakai buat meditasi dengan posisi sempurna. Tapi kali ini aku hanya ingin meditasi bebas, menjangkau ketenangan yang telah lama aku rindukan. Menghapus luka, derita dan segala kepedihan. “Cha...” suara itu dengan lembut memanggil namaku.
“Fahri?” sapaku dengan tubuh gentar, jantungku berdegup kencang. Mau apa dia kemari? Batinku.
“Maafin aku Cha, hari ini aku sudah tau yang sebenarnya” kata Fahri kemudian.
“ Tau tentang apa? Kau minta maaf karena kesalahanmu yang mana?”
“Tentang kesalahanku beberapa bulan yang lalu Cha, maafin aku” kata Fahri dengan penuh penyesalan, aku pun memaafkannya dengan tulus. Hari inilah yang aku tunggu hari dimana semuanya jelas ketika ia memberikan alasannya kenapa ia meninggalkanku dulu. Hanya karena kesalahpahaman dan profokasi dari sahabatku sendiri yang membuat ia memutuskanku.
“ Sesungguhnya perbedaan itu indah jika kita mampu menyatukan dua pendapat dan membuat satu ide dari dua pemikiran. Sungguh itu akan menjadi ide yang luar biasa. Perbedaan itu tidak boleh dijadikan suatu perdebatan yang kemudian membawa kita dalam sengketa!” Kataku datar. Dari dulu sampai sekarang memang tidak pernah rukun antara organisasi yang aku ikuti dengan organisasinya Fahri. Sebab itulah dia pergi tanpa alasan karena Fahri mengira bahwa aku lah dibalik kejadian 21 oktober lalu. Tapi kini semuanya sudah jelas dan semua rahasia kebongkar sudah. Ia menatapku dan mengungkapkan isi hatinya kepadaku. Ada segumpal rasa bahagia tapi ribuan derita kembali tumbuh menyerbu hatiku. Terasa amat ngilu dan pedih! Sahabat yang sangat aku sayangi dan teramat sangat aku percaya telah menusukku dari belakang, Luka ini lebih pedih ketimbang luka yang pernah diberikan Fahri kepadaku. Ternyata benar, dihianati seorang sahabat itu terasa amat sakit dari pada dihianati seorang pacar. Pikirku. Hampir Fahri menyentuh tanganku tapi terlebih aku bilang, “jangan!”. Karena aku memang nggak mau disentuh oleh lelaki yang bukan mahromku. Sampai saat ini aku masih berpegang teguh pada prinsipku bahwa aku tidak akan pernah mau disentuh lelaki kecuali kelak suamiku. Dan aku berharap Fahri yang kelak menjadi suamiku. Yang bisa membimbingku dalam menjalani hidup dan sebagai penyempurna agamaku.
Dibawah langit biru kami saling memandang dan terpaku tanpa kata. Semesta ini menjadi saksi bisu cerita tentang kita. Semilirnya angin bersenandung merdu, ilalang terus menari-nari dibawah langit biru. Di tempat ini lagi dia mengungkapkan perasaannya padaku. Tempat yang manusia mana pun tak kan pernah singgah. Hanya ditemani burung-burung yang berkicauan dan pepohonan-pepohonan yang rindang nan lebat. “Jurang ini benar-benar jurang asmara untuk kita ya sayang?” kata Fahri pelan, aku pun mengangguk dengan wajah malu-malu. Suasana larut dalam kebahagiaan. Dalam hatiku terus berdoa semoga dialah tempat berlabuhnya cintaku.

                                                            SELESAI
By: Alia Fioni Auriga




                                               

           


0 komentar:

Posting Komentar