Hanya
satu nama yang kan selalu kujaga hingga malaikat datang membawa sukmaku terbang.
Di temani semilir
angin di siang hari ini aku ingin bernostalgia bersama kenanganmu. Bersama
kebahagiaan yang pernah kau berikan dalam hidupku, bersama luka yang telah kau
ukir dalam tulusnya hatiku. Hingga kau buat hidupku laksana pelangi yang
berwarna-warni. Kisah cinta yang dulu aku banggakan kini hanya tinggal igauan.
Oh...Fahri taukah kamu? Diam-diam kala cahaya telah menyala
hingga dunia menjadi terang ku curi wajahmu dengan ketakutan mataku .Memandangmu
sejenak cukup sebagai obat rindu yang telah lama membara. Hingga senja datang
kuakan tiba dimana tempat permainanmu. Aku akan menatap wajahmu dengan penuh
kasih lalu kusimpan di hati yang paling dalam. Kemudian jika malam telah tiba, kuputar
kembali apa yang telah aku lihat. Lukisan wajah nan memikat yang pernah aku
miliki kini telah pergi bersamaan datangnya pedih dalam hati. Aku tetap
menantimu hingga pagi menyala menerangi dunia, hingga senja bergulat menjadikan
dunia hitam dan sebelum pangeran itu datang membawaku terbang selamanya aku
tetap menunggumu.
Ternyata bukan cuma Qois saja yang mempuyai kisah cinta
yang malang. Kisah cintanya bersama Laila yang menjadikan ia gila hingga semua
jazirah arab menjulukinya dengan nama majnun..Mungkin saja aku sudah
gila karena cinta sehingga aku merasa ada sesuatu yang beda pada diriku sendiri. Aku selalu melakukan apa
yang tidak pernah aku lakukan. Aku benar-benar telah kehilangan diriku sendiri.
Seakan diri ini menjelma menjadi orang lain, orang yang tak pernah kukenal.
Tapi aku tidak terlalu mempedulikan hal itu. Menurutku cinta itu anugrah dan
aku akan selalu merawatnya,memupuknya dengan sejuta kasih yang aku miliki meski
hakekatnya tamanku telah tandus. Bunga-bunga itu telah kering yang kemudian
gugur dan hilang diterpa angin. Aku sadar akan kenyataan pedih ini. Kenyataan
bahwa ia bukan lagi milikku tapi apakah aku salah ketika aku merinduknnya? Rindu
hadirnya ia di sampingku, rindu akan senyum yang selalu terurai dari bibirnya
ketika berjumpa denganku, rindu akan setiap desis nafas yang berlafadzkan cinta
yang ia ucapkan padaku, rindu tatapan indah yang di dalamnya aku temukan
ketulusan. Semua telah hilang karena berahirnya hubungan dan sekarang rindu
menjadi beban yang membawaku dalam keterpurukan.
***
Sebenarnya
aku tak ingin pagi ini kembali datang. Pagi yang cerah namun hatiku selalu
gundah. Aku takut berjumpa dengannya meski dicelah hati yang sempit ada secuil
rasa bahagia. Tiba-tiba aku melihat dia tengah duduk bersama teman-temannya. Ia
sibuk dengan Hp yang berada di tangannya. Sesekali ia tertawa kecil mendengar guyonan
dari teman-temannya. Aku pun ikut tersenyum melihatnya, seakan kebahagiaannya
adalah kebahagiaanku juga. Tapi kali ini hatiku benar-benar hancur. Dia
berjalan menuju parkir dan mataku terus mengintainya, mengawasi setiap gerak
yang di lakukannya. Ia memboncengkan cewek. Cewek itu cantik, aku pun mengaku
kalah dengannya. Nampaknya wajah cewek itu tidak asing lagi tapi entah siapa
aku pun lupa. “ Ah, emang gue pikirin” kataku seketika, kemudiaan aku
membalikkan badanku menuju kelas I.9 karena waktu telah menunjukkan pukul 9. 40.
Ada jadwal mata kuliah Bahasa Indonesia pada jam itu. Ternyata sudah dosennya
dan aku mengikuti proses belajar dengan baik. Tapi apa yang terjadi pada
diriku? Sudah satu jam dosen menerangkan tentang konsep bahasa indonesia
yang baik dan benar tapi tak satu pun kalimat yang aku pahami dari
penjelasan dosen tadi. Pikiranku melayang terbang menyimpan beribu-ribu tanda
tanya tentang siapa cewek yang diboncengkan Fahri tadi? Ada hubungan apa cewek
tadi dengan Fahri? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya tentang mereka yang tengah
memenuhi otakku. Andai waktu bisa di putar kembali aku tidak akan pernah
mengulangi kesalahan itu. Langit yang semula biru kini telah berganti mejadi
senja. Inilah yang aku tunggu, kala malam telah datang aku akan kembali melukis
wajahnya dalam anganku. Memandang fotonya dalam monitorku. Bertemankan bintang
dalam heningnya malam. Ku kisahkan sebuah cerita dalam buku kesayanganku. Aku mulai menarikan
pena di atas kertas kemudiaan kuawali dengan menuliskan kalimat basmallah.
Mengabadikan semua kisah kita dalam sebuah buku diaryku meski ku sadari
kisah kita telah usang dimakan waktu. Kisah yang hanya tersisa
butiran-butiran airmata ketika api kerinduan dan kecemburuan terus berkobar.
Kisah yang kini menjadi sejarah yang indah bila dikenang dan terasa sakit jika
dipikirkan. Oh cinta...mengapa kau tak jua pergi bersama dia yang telah pergi
meninggalkanku dalam kehampaan? Mengapa kau tetap bertahan dan masih bersemayam
dalam hati yang dirundung kepayahan?
***
Mendung semakin menepis, awan pun
telah pudar menjelma menjadi hitam
pekat. Sesekali terlintas cahaya kilat dengan suara menggelegar membelah dunia. Perlahan
titik-titik air mulai turun dan angin berdesis kencang menyapu dedaunan kering
yang berada di taman Fakultas. Dedaunnan-dedauanan, sampah-sampah dan
benda-benda ringan lainnya terus melayang tak terarah. Angin semakin kencang
hingga pohon-pohon besar ikut menari dibawanya. Nyiur hijau pun tak mau kalah,
ia terus melambai-lambai dan tubuhnya terpontang-panting mengikuti arah angin
yang berhembus. Sedari tadi aku hanya berdiam diri terpaku dan membisu. Tapi
ada satu kejadian yang membuat hatiku sembilu. Ketika mataku melirik ke kanan
aku melihat mawar kesayanganku rapuh. Tangkainya patah. Bunga yang berada di
pinggiran jalan perbatasan fakultas dakwah dengan fakultas syariah. Bunga yang
selalu aku nikmati dengan keindahannya
serta keharumannya ketika aku tengah lari-lari sore. Sungguh tak kuasa hati ini
melihatnya. Perlahan aku mulai menghampirinya, ikut berduka atas kejadian yang
tengah menimpanya. Tak aku pedulikan derasnya hujan disaat itu, tak juga aku
pedulikan kilatan petir saat itu. Aku terus menunduk seakan deritanya itu adalah deritaku. Memandangnya hingga butiran-butiran
airmataku menetes. Aku terus membisu seribu kata, dan tak ada satu kalimat yang
ingin aku ucapkan. “ Nanti kau bisa masuk angin” suara lelaki dibelakangku yang
saat itu mengayomiku dengan payung warna ungu. “Biarkan saja” kataku tak
memperhatikan lelaki itu. “Air hujan adalah embun penyejuk jiwaku, mata air
yang telah lama aku nanti. Sekedar penyegar dagaha yang lara. Basahlah wahai
tamanku dan mekarlah wahai bungaku. Jangan kau menangis” begitu ucap lelaki
itu. Aku mulai sadar, lelaki yang ada dibelakangku itu Fahri. Terdengar puisi
yang dulu ia persembahkan untukku. Oh...benarkah itu dia tuhan? Atau saat ini
aku hanya hidup dalam mimpi-mimpi semu? Ku tolehkan wajahku ke belakang,
“Fahri?” ucapku setengah tidak percaya. Ada segelintir perasaan bahagia. Aku
termenung beberapa saat, kemudian ia kembali berkata hingga membuat lamunanku
pudar. “ Di sini hujan nanti kamu bisa sakit”. “Peduli apa kamu dengan
kondisiku” jawabku ketus. Ya Allah...apa yang telah aku ucapkan tadi pada
Fahri? kata batinku. Sejenak kami terdiam hingga akhirnya Fahri pergi
meninggalkanku. Aku tercengang beberapa saat, hingga aku kembali menangis
disertai perasaan ngilu yang teramat pedih. Hingga terasa tercekat ditenggorokanku. Tiba-tiba
kepalaku penat, pandanganku mulai gelap. Fahri benar-benar telah melupakanku,
pikirku.
***
Kejadian kemarin benar-benar
membuatku gundah. Rasa penyesalan terus melintas dalam angan. Ingin aku meminta
maaf pada dia tapi aku malu. Aku takut, entah apa yang aku takutkan pada dia.
Hari ini terasa ada sesuatu yang menganjal dalam hatiku. Mentari bersinar
terang bersembunyi dibalik pepohonan mangga yang berada di pekarangan rumahku.
Aku tengah duduk menikmati sang surya karena kehangatannya. Aku merenung
sejenak, bagaimana aku bisa membuat Fahri kembali lagi padaku? Pertama aku akan
mengoreksi diriku sendiri tentang hal-hal yang tidak disukai Fahri hingga aku
akan merubah sesuatu itu menjadi hal yang ia sukai. Aku tau satu hal yang tidak
ia sukai dariku, tentang penampilanku. Hal itu yang terkadang membuat kami
bertengkar. Point kedua tentang sikap aku yang selama ini suka malas-malasan
dan aku akan merubahnya menjadi cewek yang aktif dengan mengikuti
bermacam-macam kegiatan.
“ Cha, hari ini kamu
nggak ada kuliah?” tanya kak Riko, kakak kandungku.
“Kuliah kak, tapi
masuk siang” jawabku singkat dan sedikit lemas setelah mendengar kata-kata
kuliah. Itu berarti nanti aku akan bertemu dengan Fahri, apa yang harus aku
lakukan tuhan? Jika nanti aku bertemu dengannya?
“Gimana Cha ? jadi
menikah semester 5 nanti?” tanya kak Riko dengan ekspresi sedikit menahan
tawanya. Kali ini aku hanya diam, 2 bulan lalu ketika kita masih pacaran kami
memang berniat untuk menikah di semester besok. Hal itu kami rencanakan agar sesudah
menikah nanti kami bisa menjadi pasangan yang resmi dan halal untuk menyentuh
satu sama lain. Karena di lingkungan keluargaku istilah pacaran masih menjadi
hal yang sangat tabu. Terkadang aku juga pengen disentuh Fahri, sekedar
menggandeng tangan ketika kami tengah jalan berdua. Lain halnya dengan
teman-teman kampusku yang tak lupa cipika cipiki ketika berjumpa dengan kekasih
mereka. Terkadang aku juga iri tapi disisi lain aku masih takut dengan dosa.
Aku adalah gadis yang baru pertama kali pacaran. Aku selalu berharap semoga dia
yang terahir tapi apa lah daya tangan tak sampai.
Jam menunjukkan pukul 8.00. Aku
sengaja berangkat lebih awal dari jadwal jam kuliahku karena hari ini aku ingin
berkunjung di perpustakaan Institut. Seperti yang tengah aku rencanakan tadi,
aku akan jadi cewek yang cerdas, rajin dan disiplin. Setidaknya sering membaca
buku adalah awal dari rencanaku itu. Pagi itu aku berjalan menyusuri trotoar dengan
langkah gontai kemudian sampai di pintu perpustakaan aku melihat Fahri,
demikian juga Fahri yang sempat melihatku. Astagfirullahhala’dzim dia
membuang muka ketika sejenak melihatku. Tatapannya sinis seakan menandakan
kebencian. Aku tersenyum kecut tapi ia tak membalas senyum dariku. Tersirat
diwajahnya ada sedikit keraguan dan dalam matanya aku temukan kegalauan.
Mungkin aku harus melupakan dia, pikirku. Kali ini aku berjalan menuju kelas
dengan temanku Virli.
“Tau nggak kemarin
aku melihat Fahri kencan sama Leli lho”
“Terus? Masalah buat
gue?” jawabku sok tidak peduli padahal jauh dalam lubuk hatiku terasa sakit,
kecemburuan itu terus mengobar hingga membakar jiwaku.
“ Ya...” belum
sempeat Virli meneruskan penjelasannya aku terlebih memotongnya dengan
mengalihkan pembicaraan lain.
“Eh, aku dapat sms
dari komting nih, katanya udah ada dosennya” kataku sembari menggenggam
Handphone yang ada ditanganku.
***
Waktu terus berputar, sudah 8 bulan
ku lalui hari-hariku tanpa Fahri. Bahkan sekedar saling menyapa dan menanyakan
kabar satu sama lain tak pernah kami lakukan. Sedari tadi tanganku memainkan Blacberry.
Ingin sekali rasanya aku mengirimkan pesan kepada dia sekedar mengucapkan “Assalamualaika
ya ahi?” tapi aku ragu. Perasaan gengsi itu kembali muncul melekat dalam
diriku. Aku memang gadis yang tidak suka mengawali dalam hal demikian. Bahkan
ketika aku masih pacaran dengan Fahri aku tidak pernah kirim sms duluan sebelum
ia terlebih dulu mengirimkan pesan untukku. Ku buka buku kesayanganku bewarna
merah jambu yang selalu aku letakkan di dekat kipas angin milikku. Aku mulai
membacanya dari halaman ke halaman. Pagiku terasa kelabu tanpa senyum yang
kau sunggingkan untukku, aku merindukanmu kekasih, mengapa kau pergi
tinggalkanku saat cinta ini mulai merekah dengan indah? Sungguh kepergianmu
menancapkan lara dalam hatiku. Aku masih disini menantimu kekasih. Aku
pergi menuju suatu tempat berniat mengadu atas perasaan yang tengah
menggelanyut dalam hati. Meluapkan segala tangis yang aku simpan. Di tengah
ilalang aku merenung sejenak, pandanganku menunduk suasana di tempat itu memang sunyi tak ada
seorang pun yang mungkin mau singgah di tempat ini. Padahal menurutku tempat
itu sangatlah indah. Tempat itu adalah ruang imajinasiku. Tempat dimana ku
rangkai syair-syair tentang Fahri. Tempat yang beralaskan tanah dan beratap
langit luas seakan membuatku merasa bebas dari belenggu-belenggu nestapa.
Tempat yang hanya bertemankan ilalang dan nyanyian burung yang berkicauan. Ku
putar lagu-lagu Sonia di mp4 milikku. Aku benar-benar menikmati syair-syair lagunya
dan musiknya khas melayu. Sungguh terasa enak di dengarkan. Ku pejamkan mataku
dan membiarkan angin meraba tubuhku. Suasana seperti ini harusnya aku pakai
buat meditasi dengan posisi sempurna. Tapi kali ini aku hanya ingin meditasi
bebas, menjangkau ketenangan yang telah lama aku rindukan. Menghapus luka,
derita dan segala kepedihan. “Cha...” suara itu dengan lembut memanggil namaku.
“Fahri?” sapaku
dengan tubuh gentar, jantungku berdegup kencang. Mau apa dia kemari? Batinku.
“Maafin aku Cha, hari
ini aku sudah tau yang sebenarnya” kata Fahri kemudian.
“ Tau tentang apa?
Kau minta maaf karena kesalahanmu yang mana?”
“Tentang kesalahanku
beberapa bulan yang lalu Cha, maafin aku” kata Fahri dengan penuh penyesalan,
aku pun memaafkannya dengan tulus. Hari inilah yang aku tunggu hari dimana
semuanya jelas ketika ia memberikan alasannya kenapa ia meninggalkanku dulu.
Hanya karena kesalahpahaman dan profokasi dari sahabatku sendiri yang membuat
ia memutuskanku.
“ Sesungguhnya perbedaan
itu indah jika kita mampu menyatukan dua pendapat dan membuat satu ide dari dua
pemikiran. Sungguh itu akan menjadi ide yang luar biasa. Perbedaan itu tidak boleh
dijadikan suatu perdebatan yang kemudian membawa kita dalam sengketa!” Kataku
datar. Dari dulu sampai sekarang memang tidak pernah rukun antara organisasi
yang aku ikuti dengan organisasinya Fahri. Sebab itulah dia pergi tanpa alasan
karena Fahri mengira bahwa aku lah dibalik kejadian 21 oktober lalu. Tapi kini
semuanya sudah jelas dan semua rahasia kebongkar sudah. Ia menatapku dan
mengungkapkan isi hatinya kepadaku. Ada segumpal rasa bahagia tapi ribuan
derita kembali tumbuh menyerbu hatiku. Terasa amat ngilu dan pedih! Sahabat
yang sangat aku sayangi dan teramat sangat aku percaya telah menusukku dari
belakang, Luka ini lebih pedih ketimbang luka yang pernah diberikan Fahri
kepadaku. Ternyata benar, dihianati seorang sahabat itu terasa amat sakit dari
pada dihianati seorang pacar. Pikirku. Hampir Fahri menyentuh tanganku tapi
terlebih aku bilang, “jangan!”. Karena aku memang nggak mau disentuh oleh
lelaki yang bukan mahromku. Sampai saat ini aku masih berpegang teguh pada
prinsipku bahwa aku tidak akan pernah mau disentuh lelaki kecuali kelak
suamiku. Dan aku berharap Fahri yang kelak menjadi suamiku. Yang bisa
membimbingku dalam menjalani hidup dan sebagai penyempurna agamaku.
Dibawah langit biru
kami saling memandang dan terpaku tanpa kata. Semesta ini menjadi saksi bisu
cerita tentang kita. Semilirnya angin bersenandung merdu, ilalang terus
menari-nari dibawah langit biru. Di tempat ini lagi dia mengungkapkan
perasaannya padaku. Tempat yang manusia mana pun tak kan pernah singgah. Hanya
ditemani burung-burung yang berkicauan dan pepohonan-pepohonan yang rindang nan
lebat. “Jurang ini benar-benar jurang asmara untuk kita ya sayang?” kata Fahri
pelan, aku pun mengangguk dengan wajah malu-malu. Suasana larut dalam
kebahagiaan. Dalam hatiku terus berdoa semoga dialah tempat berlabuhnya
cintaku.
SELESAI
By:
Alia Fioni Auriga
0 komentar:
Posting Komentar