Blogroll

Sabtu, 22 September 2012

MUTIARA YANG SIRNA

“Ibarat nasi sudah menjadi bubur, penyesalan tak kan pernah bisa merubah keadaaan yang aku inginkan.”
Aku tak pernah tau apa yang harus aku lakukan. Sesekali ia menangis dan mengurung dirinya di dalam kamar ketika suara-suara itu mulai menyebar. Oh...Istriku yang malang maafkan suamimu yang hina ini.
            Aku duduk terpaku di sebuah warung emperan toko, menikmati cerahnya pagi dengan secangkir kopi. Sesekali aku menyeruputnya sembari menghisap rokok yang berada di tanganku. Pikiranku menerawang jauh menatap cakrawala terbentang luas. “Andaikan....” Ucapku pelan. Rasa penyesalan itu selalu menghantui setiap langkahku. Tak tega melihat ia yang kucinta menangis pilu. Oh...Andaikan aku menjadi dia pastinya aku sudah pergi untuk meninggalkan rumah megah itu. Bukan cuma itu yang akan aku lakukan, aku juga akan membalas perbuatannya dengan setimpal. Mungkin aku akan membunuhnya jika ia berani melakukan hal menjijikkan itu. Dia terlalu baik dan tak pantas untuk kusakiti. Aku memang picik! Tapi tak dapat kupungkiri bahwa aku juga mencintai Fitri, gadisku yang cantik itu namun tak sesuci namanya. Suaranya yang lembut membuatku luluh kala aku berada disampingnya. “Mas....” Kata-kata itu buatku mabuk kepayang, sapanya yang lembut dan sentuhannya yang halus membuatku tak pernah sadar bahwa aku ini milik Sinta. Kedekatan kami berawal dari hubungan bisnis. Dia salah satu klienku, berawal dari konsultasi permasalahan yang tengah dihadapinya. Hingga akhirnya kita sering chatingan lewat FB, kemudian mulai meningkat dengan sering smsn hingga kontak telpon. Kita juga sering mengadakan pertemuan di cafe sekedar makan malam. Dari kebiasaan-kebiasaan itu, aku mulai menaruh perasaan terhadap Fitri tapi aku berusaha menyembunyikannya dengan bersikap biasa layaknya hubungan konselor dengan klien. Tapi tak kusangka bahwa Fitri juga mempunyai perasaan yang sama denganku, betapa terkejutnya aku ketika mendengar ungkapannya bahwa ia mencintaiku. Aku pun tak tau harus bagaimana menjelaskan ke Fitri bahwa sebenarnya aku sudah berkepala tiga. Sebagai seorang Konselor aku tidak ingin menambah beban batin klienku. Aku berusaha memberikan penjelasan sebijak mungkin terhadap Fitri bahwa sebenarnya aku sudah berumah tangga tapi seakan ia tak mempedulikan statusku. Ia terus memaksaku untuk menerima cintanya. Saat itulah aku mulai hanyut oleh cinta sesaat hingga kami pun berani melakukan hubungan suami istri yang tak seharusnya kami lakukan. Aku sering meninggalkan rumah tapi Sinta tidak pernah menaruh curiga atas perubahan sikapku selama ini. Seperti biasa dia selalu menyambutku ramah, menyalamiku dan mengecup tanganku. “Ah...Sinta kau memang istri yang baik.” Batinku.  “Sudah aku persiapkan untuk makan siang Mas.” ucapnya dengan senyum indah yang selalu aku temui setiap waktu. “ Iya Sayang.” Ucapku dengan nada lelah. Sebenarnya aku tidak lelah namun hatiku terasa pilu melihat kebaikannya. Andaikan dia tau bahwa diam-diam aku telah menghianati cintanya. “Mas pasti capek, beberapa hari ini jarang pulang ada tugas yang harus diselesaikan dengan cepat ya Mas? Kemarin Reno demam tapi alhamdulillah sekarang sudah sehat.” Kata Sinta sambil mengambilkan nasi untukku kemudian suasana larut dalam keadaan harmonis.
            Malam begitu hening, nada telfon sedari tadi terus berbunyi tapi kali ini aku  sengaja mengabaikannya. “Paling dari Fitri.” Pikirku. Malam ini aku hanya ingin menikmati waktuku bersama Sinta dan juga pangeran kecilku. Alangkah indahnya kebersamaan ini dan aku tak ingin sedikit pun  melewatkan waktuku bersama mereka. “Telfon dari siapa Pah? Kok nggak diangkat?”  Tanya Sinta. “Biarkan saja Mah, paling dari klien. Hari ini Papa ingin istirahat di rumah” Jawabku santai. Tapi suara handphone terus berbunyi hingga memaksaku untuk segera menonaktifkan benda kecil itu. Aku berjalan ke arah meja mengambil benda mungil berwarna hitam itu. Sekilas aku buka, Astagfirullah...30 kali tertera nama Fitri pada daftar panggilan tak terjawab dan 10 pesan yang masuk dalam kontakku. Karena rasa penasaran kemudian aku buka pesan Fitri satu persatu. Aku sangat shock ketika membaca salah satu pesan dari Fitri yang mengabarkan bahwa hubunganku dengannya telah diketahui oleh suaminya dan suaminya bertekad untuk menceraikannya. Aku semakin pusing dengan masalah ini. Aku takut Fitri hadir di tengah-tengah kebahagiaanku bersama keluargaku.
            Waktu terus bergulir dan suasana semakin memanas. Rupanya perselingkuhanku dengan Fitri telah menjadi obrolan kesana kemari para warga. Hingga Sinta mendengar kabar itu dari salah satu tetangga. “Benarkah kabar itu Mas?” Kata Sinta lembut tapi matanya mulai basah dan bibir yang selalu merah itu kini terlihat pucat. “Itu fitnah Sinta! Aku tidak pernah berhubungan khusus dengan Fitri! Dia tak lebih hanya sebagai klienku. Sungguh Sinta...Aku tidak tengah berbohong kepadamu, aku hanya mencintaimu Sayang.” Kataku sembari menjatuhkan tubuh Sinta dalam pelukanku dan mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang. Batinku serasa menangis. Aku tak kuasa melihat Sinta bersedih. “ Aku ini memang bodoh! Aku telah menyakitinya tapi tidak aku pungkiri bahwa aku juga sangat mencintai Fitri!” batinku.
            Semenjak kabar-kabar itu ia hanya mengurung dirinya di kamar dan membiarkan airmatanya terus mengalir. Ia masih saja membelaku di depan para tetangga-tetangga yang mencemoohku. “Saya tau betul gimana Mas Firman jadi tolong jangan menuduh Mas Firman yang bukan-bukan!” Kata Sinta ketika tetangga mulai meributkan hubunganku dengan Fitri. Alangkah munafiknya diri ini yang terus memberikan kepalsuaan pada Sinta, semua itu kulakukan karena aku tak ingin menyakiti Sinta. Dia itu terlalu baik hingga tak pantas untuk kusakiti. Hatinya selembut salju dan tak bisa aku bayangkan bagaimana jadinya jika ia tau apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Fitri. Disisi lain aku juga memikirkan nasib Fitri yang saat ini hidup menjanda tanpa suami. Ia hidup sebatangkara tapi aku selalu menyempatkan waktuku untuk dia. Entah itu seminggu sekali atau dua minggu sekali kusempatkan untuk menjenguk dia sekedar mengetahui gimana keadaanya. Hingga akhirnya Fitri hamil dan memintaku untuk menikahinya. Aku semakin bingung dan tidak tau apa yang harus aku lakukan! Fitri megancam akan bunuh diri jika aku tidak mau menikahinya. Akhirnya aku menikahi Fitri tanpa sepengetahuan Sinta. Kami membeli rumah yang jaraknya cukup jauh dari kota agar hubunganku dengan Fitri aman-aman saja. Tapi sepandai-pandai orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga. Sinta mengetahui hubunganku dengan Fitri. “Mengapa kau membohongiku Mas?” Tanya Sinta dengan suara gemetar seakan ada sesuatu yang tengah ditahannya.  Aku terdiam, perlahan kumenatapnya. Wajah itu mulai layu. Dia benar-benar dirundung kesedihan. Sebijak mungkin aku menjelaskan kepada Sinta tentang apa yang sebenarnya terjadi meski terasa pahit tapi aku tak ingin membohonginya lagi.”Maafkan aku Sinta..” Ucapku kemudian. Tak kuasa hatiku melihat mawar merahku terluka karena ulahku. “Semoga aku bisa ikhlas dengan kenyataan ini Mas.” Jawab Sinta bak petir menyambar hatiku dengan kilatannya. “Aku akan meninggalkan Fitri demi kalian!” Ucapku tegas. “Tapi saat ini Fitri tengah mengandung Mas! Bagaimana nasib dia jika kamu meninggalkannya Mas?” Ungkap Sinta yang membuatku tak mengerti apa sebenarnya maunya. “Tapi aku tak ingin kamu meninggalkanku Sinta, lebih baik aku meninggalkan Fitri dari pada aku harus kehilangan kamu.” Ucapku . “Aku tak kan pernah meninggalkanmu Mas...Selama nafas masih berhembus, selagi jantung terus berdetak selamanya aku ini milikmu Mas” Ucap Sinta dengan tabahnya, ia masih saja bisa tersenyum dalam keadaan yang seperti ini.
            Keadaan mulai membaik. Fitri dan Sinta nampak rukun meski terkadang Fitri mengaku cemburu jika melihatku bercumbu dengan Sinta. Tapi aku selalu berusaha untuk bersikap adil kepada mereka. Meski sebenarnya aku lebih menyayangi Sinta dari pada Fitri. Tapi aku lebih mencintai Fitri dari pada Sinta. Selang beberapa bulan kemudian Sinta sakit. Menurut dokter, Sinta hanya kecapekan dan kurang istirahat tapi tak lama kemudian keadaan Sinta kambuh dan terpaksa harus dilarikan ke RS. Setelah diperiksa ternyata Sinta mengidam penyakit adictif disperate disorder complicate. Mungkin ini sudah menjadi suratan takdir. Sinta menghembuskan nafas terahirnya tanpa pamit terlebih dulu kepadaku. Aku setengah tidak percaya dengan kenyataan yang telah aku terima. Badanku terasa lemas dan kepalaku tiba-tiba penat, pandanganku mulai kabur dan saat itu juga dunia menjadi gelap.
            Perlahan kubuka mataku. Aku mulai sadar dari mimpi sesaat. Aku berharap semua yang aku terima tadi hanya sebatas mimpi buruk dalam tidurku tapi kenyataannya tidak. Sinta memang benar-benar telah meninggalkanku untuk selamanya. Aku terpaku menatapnya dengan kepiluaan yang amat dasyat. Kepedihan mulai melanda diriku, aku tak kuasa melihat ia terbaring lemah tanpa nyawa diatas ranjang kematian berselimut di balik tirai putih. Sesekali kupandanginya. Wajahnya pucat tapi masih saja senyum indah itu terurai dari bibir mungilnya. “Subhanallah...” Ucap orang-orang yang melihat jenazah Sinta. Beberapa hari setelah hari kematian Sinta timbul masalah antara rumah tanggaku dengan Fitri. Sikapnya yang sering marah-marah membuatku bosan dan sering kali aku menyendiri di kamarku bersama Sinta dulu. Aku mengambil album pernikahanku dengan Sinta dan membuka lembar demi lembar album pernikahan itu dan Ya Allah....betapa terenyuhnya hati ini ketika menemukan lembaran kertas yang berisi curahan hati Sinta.
Semarang, 10 mei 2010
Ya Allah...tabahkanlah hati hambamu ini, sesungguhnya Engkau maha tau apa yang tengah hamba rasakan. Padamkanlah api-api kecemburuan hamba terhadap suami hamba Ya Rabb hingga hamba bisa tersenyum bahagia ketika melihat suami hamba bersama istri keduanya. Ya Allah....kenapa hamba masih belum bisa ikhlas menerima kenyataan ini? Ya Allah...Sesungguhnya hanya kepadaMu lah tempatku mengadu dan bersimpuh. Ya Allah...hapuslah kepedihan-kepedihan yang tengah hinggap dalam hati hambamu ini. Sejukkan hatiku dengan hidayahMu agar hamba bisa bersikap ikhlas atas apa-apa yang tengah menjadi suratanMu. Tabahkanlah hatiku setabah Istri Nabi Ayub yang senantiasa ikhlas menerima coba dariMu Ya Rabb....Sesungguhnya hamba yakin bahwa Engkau tidak akan pernah memberi cobaan di luar kemampuan hambamu. Bahagiakanlah kami dengan segala RidloMu dan kuserahkan seluruh hidupku hanya kepadaMu ya Allah....Sesungguhnya hanya kepadaMulah tempatku kembali.
            Tubuhku gemetaran, airmataku terus menetes. Betapa terharunya aku membaca diary Sinta. Ternyata dibalik senyum indahnya menyimpan berjuta-juta luka nestapa. Tapi dia tak pernah memperlihatkan kesedihan itu di depanku. Betapa bodohnya aku yang telah menyia-nyiakan istri sholihah seperti Sinta. Hingga kini hanya rasa sesal yang tersisa. Tapi penyesalan tak kan pernah bisa mengembalikan waktu yang telah berlalu. Seandainya aku diberikan kesempatan kedua aku tak kan pernah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku hingga membuat orang yang aku sayang pergi meninggalkanku untuk selamanya. Dan saat ini aku hanya ingin menghabiskan sisa umurku bersama Reno, pangeran kecilku. Aku tak lagi mempedulikan Fitri. Kita berniat bercerai karena kita sudah   tidak ada kecocokan lagi antara satu dengan yang lain. Dan kejadian itu membuatku sadar akan arti cinta yang sesunguhnya. Cinta sejati itu cinta yang memberikan kebahagiaan hati bukan kesenangan sesaat. Dalam hatiku berdoa... Ya Allah...ampunilah dosa-dosa hambamu yang hina ini...Bahagiakanlah istri hamba di alam sana....Berikan ia tempat mulia di sisiMu. Pertemukanlah hamba dengan istri hamba kelak Ya Rabb...Satukanlah kami  dalam mahligai terindah yang telah Engkau cipta. Aku berserah diri kepadaMu Ya Rabb...Karena sesungguhnya hanya kepadaMu lah tempatku kembali.
            Mentari kembali menganga lukiskan merah jingga dalam cakrawala. Angin kembali berdesir hingga pepohonan kembali menari dibuatnya. Aku dan Reno tangah bermain-main di tepi pantai. Sesekali ia tertawa kecil dengan mata yang berbinar-binar. Tawa kecilnya membuat hatiku damai seakan dia adalah Sinta. Matanya mirip sekali dengan Sinta dengan bulu matanya yang lentik. “Semoga kelak kau jadi anak yang sholeh nak...Mempunyai hati selembut sutra seperti Ibumu.” Batinku.

                                                            SELESAI
                                                                                                         By: Fioni Auriga




0 komentar:

Posting Komentar