“Ibarat
nasi sudah menjadi bubur, penyesalan tak kan pernah bisa merubah keadaaan yang
aku inginkan.”
Aku
tak pernah tau apa yang harus aku lakukan. Sesekali ia menangis dan mengurung
dirinya di dalam kamar ketika suara-suara itu mulai menyebar. Oh...Istriku yang
malang maafkan suamimu yang hina ini.
Aku duduk terpaku di sebuah warung
emperan toko, menikmati cerahnya pagi dengan secangkir kopi. Sesekali aku menyeruputnya
sembari menghisap rokok yang berada di tanganku. Pikiranku menerawang jauh
menatap cakrawala terbentang luas. “Andaikan....” Ucapku pelan. Rasa penyesalan
itu selalu menghantui setiap langkahku. Tak tega melihat ia yang kucinta
menangis pilu. Oh...Andaikan aku menjadi dia pastinya aku sudah pergi untuk
meninggalkan rumah megah itu. Bukan cuma itu yang akan aku lakukan, aku juga
akan membalas perbuatannya dengan setimpal. Mungkin aku akan membunuhnya jika
ia berani melakukan hal menjijikkan itu. Dia terlalu baik dan tak pantas untuk
kusakiti. Aku memang picik! Tapi tak dapat kupungkiri bahwa aku juga mencintai
Fitri, gadisku yang cantik itu namun tak sesuci namanya. Suaranya yang lembut
membuatku luluh kala aku berada disampingnya. “Mas....” Kata-kata itu buatku
mabuk kepayang, sapanya yang lembut dan sentuhannya yang halus membuatku tak
pernah sadar bahwa aku ini milik Sinta. Kedekatan kami berawal dari hubungan
bisnis. Dia salah satu klienku, berawal dari konsultasi permasalahan yang
tengah dihadapinya. Hingga akhirnya kita sering chatingan lewat FB,
kemudian mulai meningkat dengan sering smsn hingga kontak telpon. Kita
juga sering mengadakan pertemuan di cafe sekedar
makan malam. Dari kebiasaan-kebiasaan itu, aku mulai menaruh perasaan terhadap
Fitri tapi aku berusaha menyembunyikannya dengan bersikap biasa layaknya hubungan
konselor dengan klien. Tapi tak kusangka bahwa Fitri juga mempunyai perasaan
yang sama denganku, betapa terkejutnya aku ketika mendengar ungkapannya bahwa
ia mencintaiku. Aku pun tak tau harus bagaimana menjelaskan ke Fitri bahwa
sebenarnya aku sudah berkepala tiga. Sebagai seorang Konselor aku tidak ingin
menambah beban batin klienku. Aku berusaha memberikan penjelasan sebijak
mungkin terhadap Fitri bahwa sebenarnya aku sudah berumah tangga tapi seakan ia
tak mempedulikan statusku. Ia terus memaksaku untuk menerima cintanya. Saat
itulah aku mulai hanyut oleh cinta sesaat hingga kami pun berani melakukan
hubungan suami istri yang tak seharusnya kami lakukan. Aku sering meninggalkan
rumah tapi Sinta tidak pernah menaruh curiga atas perubahan sikapku selama ini.
Seperti biasa dia selalu menyambutku ramah, menyalamiku dan mengecup tanganku. “Ah...Sinta
kau memang istri yang baik.” Batinku. “Sudah aku persiapkan untuk makan siang Mas.”
ucapnya dengan senyum indah yang selalu aku temui setiap waktu. “ Iya Sayang.”
Ucapku dengan nada lelah. Sebenarnya aku tidak lelah namun hatiku terasa pilu
melihat kebaikannya. Andaikan dia tau bahwa diam-diam aku telah menghianati
cintanya. “Mas pasti capek, beberapa hari ini jarang pulang ada tugas yang
harus diselesaikan dengan cepat ya Mas? Kemarin Reno demam tapi alhamdulillah
sekarang sudah sehat.” Kata Sinta sambil mengambilkan nasi untukku kemudian
suasana larut dalam keadaan harmonis.
Malam begitu hening, nada telfon
sedari tadi terus berbunyi tapi kali ini aku
sengaja mengabaikannya. “Paling dari Fitri.” Pikirku. Malam ini aku
hanya ingin menikmati waktuku bersama Sinta dan juga pangeran kecilku. Alangkah
indahnya kebersamaan ini dan aku tak ingin sedikit pun melewatkan waktuku bersama mereka. “Telfon
dari siapa Pah? Kok nggak diangkat?”
Tanya Sinta. “Biarkan saja Mah, paling dari klien. Hari ini Papa ingin
istirahat di rumah” Jawabku santai. Tapi suara handphone terus berbunyi hingga
memaksaku untuk segera menonaktifkan benda kecil itu. Aku berjalan ke arah meja
mengambil benda mungil berwarna hitam itu. Sekilas aku buka, Astagfirullah...30
kali tertera nama Fitri pada daftar panggilan tak terjawab dan 10 pesan yang
masuk dalam kontakku. Karena rasa penasaran kemudian aku buka pesan Fitri satu
persatu. Aku sangat shock ketika membaca salah satu pesan dari Fitri
yang mengabarkan bahwa hubunganku dengannya telah diketahui oleh suaminya dan
suaminya bertekad untuk menceraikannya. Aku semakin pusing dengan masalah ini.
Aku takut Fitri hadir di tengah-tengah kebahagiaanku bersama keluargaku.
Waktu terus bergulir dan suasana
semakin memanas. Rupanya perselingkuhanku dengan Fitri telah menjadi obrolan kesana
kemari para warga. Hingga Sinta mendengar kabar itu dari salah satu tetangga.
“Benarkah kabar itu Mas?” Kata Sinta lembut tapi matanya mulai basah dan bibir yang
selalu merah itu kini terlihat pucat. “Itu fitnah Sinta! Aku tidak pernah
berhubungan khusus dengan Fitri! Dia tak lebih hanya sebagai klienku. Sungguh
Sinta...Aku tidak tengah berbohong kepadamu, aku hanya mencintaimu Sayang.”
Kataku sembari menjatuhkan tubuh Sinta dalam pelukanku dan mengusap rambutnya
dengan penuh kasih sayang. Batinku serasa menangis. Aku tak kuasa melihat Sinta
bersedih. “ Aku ini memang bodoh! Aku telah menyakitinya tapi tidak aku pungkiri
bahwa aku juga sangat mencintai Fitri!” batinku.
Semenjak kabar-kabar itu ia hanya
mengurung dirinya di kamar dan membiarkan airmatanya terus mengalir. Ia masih
saja membelaku di depan para tetangga-tetangga yang mencemoohku. “Saya tau
betul gimana Mas Firman jadi tolong jangan menuduh Mas Firman yang bukan-bukan!”
Kata Sinta ketika tetangga mulai meributkan hubunganku dengan Fitri. Alangkah
munafiknya diri ini yang terus memberikan kepalsuaan pada Sinta, semua itu
kulakukan karena aku tak ingin menyakiti Sinta. Dia itu terlalu baik hingga tak
pantas untuk kusakiti. Hatinya selembut salju dan tak bisa aku bayangkan
bagaimana jadinya jika ia tau apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Fitri.
Disisi lain aku juga memikirkan nasib Fitri yang saat ini hidup menjanda tanpa
suami. Ia hidup sebatangkara tapi aku selalu menyempatkan waktuku untuk dia. Entah
itu seminggu sekali atau dua minggu sekali kusempatkan untuk menjenguk dia sekedar
mengetahui gimana keadaanya. Hingga akhirnya Fitri hamil dan memintaku untuk
menikahinya. Aku semakin bingung dan tidak tau apa yang harus aku lakukan! Fitri
megancam akan bunuh diri jika aku tidak mau menikahinya. Akhirnya aku menikahi
Fitri tanpa sepengetahuan Sinta. Kami membeli rumah yang jaraknya cukup jauh
dari kota agar hubunganku dengan Fitri aman-aman saja. Tapi sepandai-pandai
orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga. Sinta mengetahui hubunganku
dengan Fitri. “Mengapa kau membohongiku Mas?” Tanya Sinta dengan suara gemetar
seakan ada sesuatu yang tengah ditahannya.
Aku terdiam, perlahan kumenatapnya. Wajah itu mulai layu. Dia
benar-benar dirundung kesedihan. Sebijak mungkin aku menjelaskan kepada Sinta
tentang apa yang sebenarnya terjadi meski terasa pahit tapi aku tak ingin
membohonginya lagi.”Maafkan aku Sinta..” Ucapku kemudian. Tak kuasa hatiku
melihat mawar merahku terluka karena ulahku. “Semoga aku bisa ikhlas dengan
kenyataan ini Mas.” Jawab Sinta bak petir menyambar hatiku dengan kilatannya.
“Aku akan meninggalkan Fitri demi kalian!” Ucapku tegas. “Tapi saat ini Fitri
tengah mengandung Mas! Bagaimana nasib dia jika kamu meninggalkannya Mas?”
Ungkap Sinta yang membuatku tak mengerti apa sebenarnya maunya. “Tapi aku tak
ingin kamu meninggalkanku Sinta, lebih baik aku meninggalkan Fitri dari pada
aku harus kehilangan kamu.” Ucapku . “Aku tak kan pernah meninggalkanmu Mas...Selama
nafas masih berhembus, selagi jantung terus berdetak selamanya aku ini milikmu
Mas” Ucap Sinta dengan tabahnya, ia masih saja bisa tersenyum dalam keadaan
yang seperti ini.
Keadaan mulai membaik. Fitri dan
Sinta nampak rukun meski terkadang Fitri mengaku cemburu jika melihatku
bercumbu dengan Sinta. Tapi aku selalu berusaha untuk bersikap adil kepada
mereka. Meski sebenarnya aku lebih menyayangi Sinta dari pada Fitri. Tapi aku
lebih mencintai Fitri dari pada Sinta. Selang beberapa bulan kemudian Sinta
sakit. Menurut dokter, Sinta hanya kecapekan dan kurang istirahat tapi tak lama
kemudian keadaan Sinta kambuh dan terpaksa harus dilarikan ke RS. Setelah
diperiksa ternyata Sinta mengidam penyakit adictif disperate disorder
complicate. Mungkin ini sudah menjadi suratan takdir. Sinta menghembuskan
nafas terahirnya tanpa pamit terlebih dulu kepadaku. Aku setengah tidak percaya
dengan kenyataan yang telah aku terima. Badanku terasa lemas dan kepalaku
tiba-tiba penat, pandanganku mulai kabur dan saat itu juga dunia menjadi gelap.
Perlahan kubuka mataku. Aku mulai
sadar dari mimpi sesaat. Aku berharap semua yang aku terima tadi hanya sebatas
mimpi buruk dalam tidurku tapi kenyataannya tidak. Sinta memang benar-benar
telah meninggalkanku untuk selamanya. Aku terpaku menatapnya dengan kepiluaan
yang amat dasyat. Kepedihan mulai melanda diriku, aku tak kuasa melihat ia terbaring
lemah tanpa nyawa diatas ranjang kematian berselimut di balik tirai putih.
Sesekali kupandanginya. Wajahnya pucat tapi masih saja senyum indah itu terurai
dari bibir mungilnya. “Subhanallah...” Ucap orang-orang yang melihat jenazah
Sinta. Beberapa hari setelah hari kematian Sinta timbul masalah antara rumah
tanggaku dengan Fitri. Sikapnya yang sering marah-marah membuatku bosan dan
sering kali aku menyendiri di kamarku bersama Sinta dulu. Aku mengambil album
pernikahanku dengan Sinta dan membuka lembar demi lembar album pernikahan itu
dan Ya Allah....betapa terenyuhnya hati ini ketika menemukan lembaran kertas
yang berisi curahan hati Sinta.
Semarang, 10 mei
2010
Ya
Allah...tabahkanlah hati hambamu ini, sesungguhnya Engkau maha tau apa yang
tengah hamba rasakan. Padamkanlah api-api kecemburuan hamba terhadap suami
hamba Ya Rabb hingga hamba bisa tersenyum bahagia ketika melihat suami hamba
bersama istri keduanya. Ya Allah....kenapa hamba masih belum bisa ikhlas
menerima kenyataan ini? Ya Allah...Sesungguhnya hanya kepadaMu lah tempatku
mengadu dan bersimpuh. Ya Allah...hapuslah kepedihan-kepedihan yang tengah
hinggap dalam hati hambamu ini. Sejukkan hatiku dengan hidayahMu agar hamba
bisa bersikap ikhlas atas apa-apa yang tengah menjadi suratanMu. Tabahkanlah hatiku setabah Istri Nabi Ayub yang senantiasa ikhlas
menerima coba dariMu Ya Rabb....Sesungguhnya hamba yakin bahwa Engkau tidak
akan pernah memberi cobaan di luar kemampuan hambamu. Bahagiakanlah kami dengan
segala RidloMu dan kuserahkan seluruh hidupku hanya kepadaMu ya
Allah....Sesungguhnya hanya kepadaMulah tempatku kembali.
Tubuhku gemetaran, airmataku terus
menetes. Betapa terharunya aku membaca diary Sinta. Ternyata dibalik senyum
indahnya menyimpan berjuta-juta luka nestapa. Tapi dia tak pernah
memperlihatkan kesedihan itu di depanku. Betapa bodohnya aku yang telah
menyia-nyiakan istri sholihah seperti Sinta. Hingga kini hanya rasa sesal yang
tersisa. Tapi penyesalan tak kan pernah bisa mengembalikan waktu yang telah
berlalu. Seandainya aku diberikan kesempatan kedua aku tak kan pernah melakukan
kesalahan terbesar dalam hidupku hingga membuat orang yang aku sayang pergi
meninggalkanku untuk selamanya. Dan saat ini aku hanya ingin menghabiskan sisa
umurku bersama Reno, pangeran kecilku. Aku tak lagi mempedulikan Fitri. Kita berniat
bercerai karena kita sudah tidak ada kecocokan lagi antara satu dengan
yang lain. Dan kejadian itu membuatku sadar akan arti cinta yang sesunguhnya. Cinta
sejati itu cinta yang memberikan kebahagiaan hati bukan kesenangan sesaat. Dalam
hatiku berdoa... Ya Allah...ampunilah dosa-dosa hambamu yang hina
ini...Bahagiakanlah istri hamba di alam sana....Berikan ia tempat mulia di
sisiMu. Pertemukanlah hamba dengan istri hamba kelak Ya Rabb...Satukanlah kami dalam mahligai terindah yang telah Engkau
cipta. Aku berserah diri kepadaMu Ya Rabb...Karena sesungguhnya hanya
kepadaMu lah tempatku kembali.
Mentari
kembali menganga lukiskan merah jingga dalam cakrawala. Angin kembali berdesir
hingga pepohonan kembali menari dibuatnya. Aku dan Reno tangah bermain-main di
tepi pantai. Sesekali ia tertawa kecil dengan mata yang berbinar-binar. Tawa
kecilnya membuat hatiku damai seakan dia adalah Sinta. Matanya mirip sekali
dengan Sinta dengan bulu matanya yang lentik. “Semoga kelak kau jadi anak yang
sholeh nak...Mempunyai hati selembut sutra seperti Ibumu.” Batinku.
SELESAI
By: Fioni Auriga
0 komentar:
Posting Komentar