Aku adalah
sesuatu yang selalu diibaratkan gadis yang jelita. Padahal aku hanya setangkai
mawar yang tak jua merekah. Rupaku kisut seperti nenek tua yang renta. Aku
hanya setangkai mawar yang dipelihara dalam megahnya istana. Namun aku tak
sebahagia ketika berada dalam luasnya taman bunga. Bisa menyanyi dan
menari-nari mengikuti arah angin. Mendapat guyuran air hujan dan ketika fajar
menyapa aku selalu basah oleh embun.
Disini aku seperti terpenjara. Hidup dalam
kering koronta. Aku selalu dimandikan oleh air yang sejuk namun aku tak pernah
meminumnya sehingga aku tak pernah berfotosintesis. Airnya terasa sejuk namun
tak jua menyejukkan hatiku yang bertahun-tahun merasakan kerinduan. Aku hanya
bunga tapi aku mempunyai nyawa meskipun tak pernah berbicara dengan suara tapi
lambaianku adalah kata setiap nada. Aku juga mempunyai perasaan seperti
manusia. Aku mempunyai rasa cinta, kerinduan dan kehampaan. Aku tidak pernah
memekarkan kembangku kecuali ketika aku tengah bahagia. Aku hanya bersedih hati
karena kerinduanku tak jua dirasakan oleh Sinta. Gadis cantik yang selalu
merawatku dengan air, pupuk organic ataupun non organic dan membersihkanku dari
gangguan rumput-rumput kecil yang melilit akarku atau ulat-ulat yang membuat
daunku cacat. Acapkali menatapku ia tersenyum dan aku selalu membalas senyumnya
dengan menggoyangkan tubuhku. Ia perlahan memperhatikanku, lalu tampak guratan
kesedihan terlukis diwajah ayunya sehingga kini tampak sayu. “Kapankah kau
mekar wahai mawarku?” Demikian ucapnya sebelum ia meninggalkanku untuk
aktifitas yang lain. Kali ini aku hanya diam. Aku adalah bunga yang mempunyai
perasaan.
Aku tidak pernah kembang jika hatiku tiada
merasa bahagia. Aku sedih, Aku merindukan sebuah ketentraman dan kedamaian.
Sedihku bukan karena apa-apa namun karena negaraku yang semakin rusak moralnya.
Pancasila hanya sebagai dasar Negara yang tak terwujud dalam realita.
Undang-undang menjadi pecundang. Banyak pemimpin yang hanya menginginkan
kekuasaan dan jabatan. Korupsi semakin merajalela. Masyarakat kecil
terlantarkan. Seandainya aku manusia aku ingin mengubah peradaban Indonesia. Oh,
kapan kemerdekaan benar-benar aku rasakan? Hidup dalam jajahan tak terasa.
Namun aku hanya setangkai mawar. Yang hanya bisa marah dengan mengatupkan
bunga. Andaikan semua bunga berfikiran sepertiku mungkinkah Indonesia akan
merasa kehilangan? Meskipun kita hanya sekuntum bunga yang tak seberapa jika
dijual? Ah… Kau Negara tempatku dilahirkan serta dihidupkan namun tak sesuai
harapan yang aku inginkan. Kekecewaan terus melanda hingga tak terasa malam
telah tiba dengan berjuta-juta benda-benda angkasa yang perlahan mulai
berpijar. Suara adzan mulai menggema. Astagfirullah… Aku lupa kalau ramadhan
telah tiba. Hendaknya aku memikirkan agama dan juga Negara. Jangan Negara lupa
agama atau sebaliknya.
Terlihat
semua tampak sujud menyambut bulan suci nan berkah ini. Aku pun segera
memekarkan kembangku sebagai tanda bahagiaku karena bulan suci yang dinanti-nanti
telah hadir kembali. Kini aku tampak indah dan menebarkan aroma wangi pada
setiap sudut istana. Sinta yang terpaku menatapku dengan wajah binarnya hingga
bibirnya bergetar, “Subhanallah… Indahnya” demikian kata yang aku dengar. Aku
pun bahagia mendengar ucapan Sinta. Karena keindahan yang dilihatnya tidak
menjadikan ia lupa terhadap sang pencipta. Keindahan menjadikan ia berdzikir
kepadaNya. Marhaban Ya Ramadhan, hanya ini yang aku persembahkan untuk
menyambut kehadiranmu. Memekarkan bunga-bungaku dan menebarkan bau harum.
Semoga manusia yang diciptakan sempurna bisa menyambut hadirmu dengan indah dan
berproses di dalammu dengan sempurna. Aku hanyalah bunga yang tak tersampai
oleh kata. Tak terucap oleh nada. Namun aku mempunyai rasa.
Ramadhan 1433 H_Fioni
0 komentar:
Posting Komentar